7. Jangan Pergi Papa

70 31 79
                                    

Dara bersimpuh di ruang tamu, dirinya kembali menitikkan buliran bening dari kedua pelupuk mata indahnya dengan Kean yang berada di sebelahnya. Namun sepertinya kehadiran Kean tidak berarti besar bagi Dara saat ini. Dara terus menangis dan terus menangis, tidak ada sepatah kata apapun yang keluar dari bibirnya, hanya ada rintikan air mata yang semakin lama akan semakin membasahi dirinya sendiri.

"Araa, aku udah dapet tiketnya, kamu bisa pergi besok."

Kean terus berusaha menenangkan Dara. Remaja laki-laki itu menarik tubuh lemah Dara ke dalam pelukannya sembari terus membisikkan kata-kata manis di telinga Dara. Telapak tangannya pun bergerak perlahan membelai surai hitam Dara yang berantakan. Namun Dara hanya menggelengkan kepalanya sembari terus menangis.

"Papa...papa...." racau Dara.

Sebagai cowok sejati, tentu Kean tidak akan menyerah begitu saja. Dirinya akan terus berusaha untuk membuat Dara tenang, sekalipun dengan mencari tau sendiri apa yang sebenarnya terjadi hingga mengakibatkan menghilangnya keceriaan Dara yang sangat berarti baginya.

Kean melepaskan perlahan pelukannya pada tubuh lemah Dara, lalu menyandarkan gadis itu ke dinding ruang tamu. Matanya mengedar ke segala penjuru ruangan, namun lensanya tidak menangkap adanya manusia lain selain mereka berdua disana. Karena dirinya harus pergi untuk mencari tau hal yang sedang terjadi, Kean pun membelai lembut surai hitam Dara yang menutupi wajahnya.

"Araa, aku tinggal sebentar, nanti aku kembali lagi, okay?" Pucuk kepala Dara diusap lembut oleh Kean, setelahnya ia beranjak pergi keluar.

🌕🕊️🌕🕊️

Di teras rumah, terlihat Abim tengah mengobrol bersama Pak Adi dengan mimik muka yang serius. Abim berbicara dengan tekanan kalimat yang jelas diiringi gerakan tangannya yang mengiringi setiap kalimat yang ia lontarkan. Tidak heran jika gaya berbicara Abim layaknya seorang public speaker, karena dirinya memang sering bahkan cenderung selalu menjadi pembawa acara di acara sekolah. Dan cowok itu sangat suka berbicara di depan umum.

"Permisi, boleh gabung?"

Sapa Kean setelah kakinya berhenti tepat di samping sebelah kiri Pak Adi. Tanpa ragu ia pun mengambil posisi yang sekiranya mudah untuk berkomunikasi, Kean yakin mereka tidak akan keberatan atas kehadiran dirinya disitu.

"Kok lo malah kesini sih! Dara lo tinggalin sendiri?"

Runtutan kalimat terlontar dari mulut Abim yang ditujukan pada seseorang yang baru saja bergabung bersama mereka. Tentu saja orang itu adalah Kean. Seakan bukan masalah besar, Kean tidak menampakkan wajah cemas sedikitpun.

"Emang kenapa? Gue pengen tau apa yang terjadi, Gue juga udah tenangin dia," balas Kean.

"Udah gila lo! Dara Lo tinggal sendirian waktu lagi down kayak gini? Gak habis pikir gue!"

Kaki Abim tergerak hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Namun telapak tangan Kean lebih dulu mendarat di lengan Abim, sehingga pergerakan Abim pun terhambat, ia sedikit kesusahan melepaskan cengkeraman tangan Kean yang cukup kuat di lengannya.

"Kasih tau gue sekarang!"

Abim membalikkan tubuhnya. Matanya menatap tajam ke arah Kean yang masih belum melepaskan cengkeraman tangannya yang berada di lengan Abim.

"Papanya Dara kecelakaan dan kondisinya koma, Dara bener-bener rapuh sekarang! Salah satu pilar hidupnya lagi berjuang diambang hidup dan mati, Kean!"

Kean terdiam mendengar jawaban yang Abim lontarkan, hingga tanpa sadar cengkeraman tangannya yang melilit lengan Abim terlepas.

Abim segera berlari masuk ke dalam rumah untuk menenangkan Dara. Kean mengikuti Abim dari belakang, ia sadar bahwa dirinya terlalu ceroboh meninggalkan Dara sendiri disaat kondisinya sedang membutuhkan dukungan, ia tidak seharusnya melakukan hal itu.

Menuju Rembulan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang