Abim terlihat begitu sibuk dengan benda pipih yang berada di genggamannya, jemarinya tak henti-hentinya mengetikkan sesuatu di atas layar benda itu. Pandangannya pun hanya terfokus pada benda yang ada di genggaman tangannya, tidak menoleh sedikitpun.
Dengan posisi berdiri di depan ruang ICU, Abim menyandarkan tubuhnya pada tembok bercat putih bersih. Setelah cukup lama ia bergelut dengan benda pipih itu, Abim meletakkan benda itu kembali pada saku celananya, kakinya hendak melangkah untuk memasuki ruangan tempat Papa Dara dirawat, namun matanya secara tidak sengaja menangkap beberapa objek yang tak jauh dari tempatnya berasal.
Abim menyipitkan matanya untuk menangkap lebih jelas objek yang menarik perhatiannya. Dua orang lelaki dengan seorang wanita dewasa. Ketiga orang itu nampak mengobrol dengan serius, terlihat dari raut muka si wanita yang beberapa kali menuding ke arah dua lelaki berpakaian serba hitam yang ada di depannya.
"Siapa ya? Masa iya komplotan penjahat hitam," celetuk Abim tanpa berpikir lagi.
Karena merasa penasaran dengan orang-orang itu, Abim mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam ruang rawat Papa Dara, ia lebih memilih melangkahkan kakinya ke arah tiga orang itu berada. Abim berjalan perlahan, sebisa mungkin ia berusaha supaya langkah kakinya tidak terdengar oleh ketiga orang itu, tapi secara tidak sengaja ponsel yang berada di saku celananya berdering.
"Yaelah, ganggu mulu!"
Pandangannya seketika beralih menatap layar ponsel yang baru saja berdering. Baru saja ia hendak mengangkat panggilan yang terhubung, tapi tidak sempat, seseorang di seberang telah mengakhiri panggilan yang bahkan belum diangkat oleh pemilik ponsel. Karena panggilan yang masuk telah diakhiri, Abim kembali memasukkan ponselnya pada saku celananya.
"Loh?"
Matanya mengedar, menatap ke berbagai arah untuk mencari objek yang sama seperti yang terakhir ia lihat sebelum dirinya memutuskan untuk mengecek dering ponselnya. Namun aneh, ketiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari pandangannya, padahal Abim hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja mengalihkan pandangan dari ketiga orang itu.
Karena tidak mau memikirkan lebih dalam, Abim membalikkan badannya dengan menggeleng kecil. Dia berusaha untuk tidak begitu mempedulikan siapa dan mengapa ketiga orang itu berada di sana.
Abim melangkahkan kakinya, selangkah demi selangkah ia lalui hingga dirinya telah sampai di ambang pintu ruang rawat. Menggunakan tangan kanannya, Abim membuka pintu, lalu masuk ke dalam. Meninggalkan segala rasa penasarannya.
Dara yang berada di samping Papanya, sama sekali tidak memperdulikan Abim yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. Hingga remaja laki-laki itu memutuskan untuk berdiri beberapa meter dari tempat Dara dan Papanya berada.
"Ra," ucap Abim sembari menatap ke arah Dara.
Dara menoleh, memindah pandangannya yang semula terfokus pada Papanya, kini ia menariknya untuk menatap pada remaja laki-laki yang berada beberapa meter di sebelah kirinya. Dara melangkahkan kakinya sedikit mendekat ke arah Abim.
"Mama, lagi?" tanya Dara dengan singkat.
Abim menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Ada yang lain."
Dara menyipitkan kedua matanya yang kecil, sehingga kedua matanya seperti hilang entah kemana. Ia menyondongkan badannya mendekat ke arah Abim, sepertinya gadis itu merasa penasaran.
"Gue tadi-" Abim menjeda kalimat yang belum sepenuhnya tersampaikan.
Kedua remaja yang berdiri berhadap-hadapan itu dengan kompak menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba saja dibuka dari arah luar menyisakan derit pintu menembus indera pendengaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Rembulan
Teen Fiction"Rembulan, sesulit itu, ya, Mama dan Papa bersama lagi? Rasanya seperti tidak mungkin." Setelah kedua orang tuanya berpisah, kehidupan gadis kecil itu seketika berubah. Dara tak lagi bisa menghabiskan hari-harinya bersama kedua pilar hidupnya, mel...