Siang berganti sore, waktu berjalan mengikis sore menjadikannya gelap. Mentari berganti dengan rembulan dan beberapa bintang. Malam ini bulan bulat sempurna, pancaran cahayanya mampu mencegah kegelapan, menambah keindahan malam ini begitu terasa. Kerlipan bintang-bintang mempercantik langit malam yang semula gelap, kini menjadi lebih indah nan menarik sepasang mata untuk menatap padanya.
Dara masih setia dengan posisinya, duduk di balkon kamar dengan pandangan mengarah ke arah rembulan. Angin malam bertiup semilir menggerakkan perlahan dedaunan menembus kulit gadis remaja sekolah menengah atas itu, surai hitamnya yang tergerai mendayu-dayu mengikuti tiupan angin, cantik sekali.
Merasakan hawa dingin menusuk kulitnya, Dara beranjak dari duduknya, melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, mengambil jaket lalu mengenakannya. Dara harap jaket itu dapat melindunginya dari udara malam.
Dara kembali keluar membawa kamera hadiah dari Papanya saat ulang tahunnya ke 17, lalu meletakkan kamera itu di tepian balkon. Dara berencana menangkap gambar rembulan yang bersinar bulat sempurna malam itu. Dara suka bulan, Dara cinta bulan, apapun yang berkaitan dengan bulan, Dara menyukainya.
Dara memposisikan kameranya sebaik mungkin demi hasil jepretan yang maksimal. Fokusnya hanya tertuju pada kamera, dan objek yang menjadi pusat perhatiannya, rembulan malam.
"Ingin rasanya pergi ke bulan."
Dara tersenyum sembari memandangi pantulan rembulan dari kameranya yang terpajang. Malam itu berjalan begitu indah. Karena terlalu fokus dengan kameranya, hingga Dara tidak menyadari ponselnya berdering sedari tadi.
Setelah menyadari ponselnya berdering, Dara beralih meraih ponselnya yang berada di kursi. Ia meninggalkan kameranya yang masih menyala, merekam keindahan malam itu.
Wajah Dara berubah cerah, senyumnya merekah, semangatnya kembali hadir mendapati seseorang yang tengah menelponnya adalah sosok yang sama dengan sosok yang membelikannya pensil warna sembilan tahun yang lalu. Ya, orang itu adalah Papanya.
"Halo? Selamat malam putri kecil," sapa seseorang dari seberang. Suaranya terdengar berat, sedikit serak.
Dara memindahkan ponselnya yang semula berada di genggaman tangan kanannya, kini ia menempelkan ponselnya pada daun telinga. Dara berjalan beberapa langkah, mengitari balkon kamarnya dengan perasaan yang bahagia.
"Halo juga, Papa. Selamat malam," balas Dara.
Seseorang yang berada di seberang terdengar sedikit terbatuk dan menjeda beberapa saat sebelum hendak melanjutkan percakapan yang terjalin diantara mereka. Tarikan napasnya juga sedikit terengah-engah.
"Putri kecil kesayangan Papa, sehat?"
Dara menganggukkan kepalanya layaknya dua orang yang tengah berbicara secara langsung. "Dara sehat. Tapi, apakah Papa sakit? Suara Papa terdengar berbeda."
"Tidak, Papa hanya sedikit batuk. Setelah mendengar suara putri kecil kesayangan Papa, pasti Papa akan segera sembuh. Apalagi jika kita bisa bertemu secepatnya!"
Dara terkekeh kecil. Tanpa diminta, buliran bening mulai berjatuhan, memberontak dari dalam pelupuk mata minimalisnya. Ia mengusap perlahan sisa buliran bening yang berada di wajahnya.
"Halo?"
Desak seseorang yang berada di seberang. Karena Dara terdiam cukup lama, tidak menanggapi ucapan Papanya.
"Dara kangen, kapan kita bisa bertemu, Papa?" Dara menyeka air matanya yang masih saja mengalir.
"Secepatnya! Tunggu Papa, ya, Sayang?"
Dara menganggukkan kepalanya dengan yakin. Senyumnya kembali merekah, perasaan hatinya tidak dapat dibohongi, ia merindukan cinta pertamanya, sosok yang memberikannya cinta, dan kasih sayang yang paling pertama dalam hidup seorang gadis kecil yang sederhana.
"Dara jaga kesehatan. Makan, istirahat yang cukup. Putri Kecil Papa harus bahagia, lakukan hal yang Dara sukai. Kalau Dara lelah, istirahat sejenak. Tapi, jangan pernah menyerah. Mengerti, Sayang?"
Dara berusaha untuk membuat suaranya seperti semula, ia tidak ingin Papanya menyadari bahwa dirinya sedang menangis. Papa tidak suka jika Dara menangis, Papa ingin Dara terus tersenyum bahagia.
"Mengerti, Papa."
Selesai menutup telepon, Dara kembali menatap ke arah rembulan beberapa saat. Ia mendaratkan tubuhnya pada kursi yang berada di balkon kamarnya. Jemari tangan milik gadis itu bergerak menggeser cerita postingan yang tertera, hingga ada satu cerita yang menarik perhatiannya, cerita itu milik Abim. Satu-satunya sahabat yang Dara punya.
"Abim mendaki? Sejak kapan nih anak cinta alam," tanya Dara pada dirinya sendiri sembari mengamati dengan serius tiap objek yang terdapat pada postingan foto milik sahabatnya.
Karena rasa penasaran yang semakin besar. Dara memutuskan untuk membalas postingan cerita itu untuk sekadar bertanya-tanya, tapi karena pemilik postingan itu tidak segera membalas, Dara berencana untuk menelepon saja.
"Halo?Bim?"
Sapa Dara saat panggilannya telah terbalas oleh seseorang yang berada di seberang. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, dan melipat sebelah tangannya ke depan.
"Hmm?" balas singkat seseorang yang berada di seberang.
Malam belum terlalu larut, tapi suara Abim terdengar seperti orang yang sudah tidak memiliki daya bahkan hanya untuk berbicara beberapa kata. Dara menggelengkan kepalanya beberapa kali, merasa sedikit heran dengan seseorang yang berada di seberang. Jika dia mudah sekali mengantuk saat malam tiba, bagaimana bisa seorang Abim melakukan pendakian yang biasa dilakukan pada malam hari?
"Wih cinta alam nih ya," celetuk Dara seenaknya.
"Biarin, kalau cinta lo ntar gue ditampol sama jurusan seberang. Lagian hidup di kamar terus, kudet kan," balas Abim sembari tertawa meledek.
Dara mengerutkan keningnya, merasa terkejut sekaligus kesal atas jawaban yang Abim lontarkan. Ia menggeser posisinya, sebelah tangannya masih terlipat di depan, dan kini Dara menaikkan kedua kakinya ke atas kursi tempatnya duduk.
"Lo kira gue gak bosen di kamar terus? Banget lah!" Dara membalas Abim dengan suara yang cukup keras.
Abim masih saja tertawa meledek. Sepertinya dia mendapatkan kebahagiaan tersendiri jika berhasil membuat Dara kesal.
"Lusa ikut gue mendaki mau? Eh tapi gue gak yakin Lo bakal berani." Abim tertawa kembali meledek Dara yang semakin kesal dibuatnya.
Mendengar tawaran dari sahabatnya, seketika amarah Dara mereda. Walaupun sebenarnya dia masih merasa kesal, tapi setidaknya Abim akan mengajaknya keluar dari jebakan bangunan yang luas itu untuk beberapa saat.
"Mau! Gue bakal prepare sebaik mungkin," balas Dara penuh antusias.
Dara memutus panggilan yang dirasa sudah cukup. Dengan perasaan hati yang begitu bahagia, gadis itu meloncat dari kursi tempatnya duduk. Tak lupa ia mengecek kamera yang sedari tadi ia gunakan untuk merekam keindahan langit malam, rembulan, dan beberapa bintang.
Sempurna! Begitu menakjubkan keindahan sang rembulan yang berhasil ia abadikan menggunakan kamera kesayangannya. Karena waktu yang terus berjalan, tak terasa malam akan semakin larut, udara di luar pun akan semakin dingin menembus kulit. Dara memutuskan untuk mengemasi kamera, dan beberapa barang yang ia bawa masuk kembali ke dalam kamar.
"Saatnya istirahat! Sampai jumpa di malam-malam selanjutnya dengan cerita yang berbeda di tiap harinya, rembulan," ucap Dara sembari melambaikan tangannya ke arah rembulan berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Rembulan
Teen Fiction"Rembulan, sesulit itu, ya, Mama dan Papa bersama lagi? Rasanya seperti tidak mungkin." Setelah kedua orang tuanya berpisah, kehidupan gadis kecil itu seketika berubah. Dara tak lagi bisa menghabiskan hari-harinya bersama kedua pilar hidupnya, mel...