10. Dekat Sebatas Sahabat

58 20 50
                                    

Dara menghentikan langkah kakinya saat sampai di taman sederhana samping rumah sakit. Dara melepaskan tubuhnya begitu saja terjatuh di atas rerumputan hijau yang memang sengaja ditanam melapisi tanah taman itu. Dara menyembunyikan wajahnya dibalik telapak tangannya, isakan tangis itu kembali terdengar.

Abim yang mengikuti Dara dari belakang ikut menghentikan kakinya, dirinya melangkah perlahan mendekati Dara. Abim menundukkan badannya cenderung jongkok untuk menyamai tinggi Dara, tangan kanannya mengelus lembut surai hitam Dara.

Merasakan belaian di kepalanya, Dara mengangkat wajahnya yang ia sembunyikan di belakang telapak tangannya. Dirinya menatap lurus ke arah seseorang yang berada di depannya dengan tangan yang masih setia mengelus surai hitam miliknya.

"Ini semua salah gue ya?"

Dara menatap ke arah Abim dengan mata yang kembali sembab. Buliran bening terus memberontak keluar dari pelupuk matanya. Abim memindahkan tangannya yang semula berada di kepala Dara untuk mengusap bulir bening yang terus menetes membasahi pipi Dara.

Abim menggelengkan kepalanya. Tangannya beralih memegang tepian muka Dara lalu mengarahkan pandangan gadis itu ke arahnya. Dara masih terus menangis, namun pandangannya mengikuti arahan tangan Abim. Netra mereka berdua beradu.

"Lo gak salah Ra, kenapa lo mikir gitu sih?"

Abim melepaskan tangannya dari tepian muka Dara. Gadis itu pun menolehkan kepalanya menghindari kontak mata dengan Abim. Dara beranjak dari posisinya yang semula duduk di rumput taman, kini ia berdiri dengan tangan terlipat.

"Gue bener-bener gak tau penyebab papa kecelakaan, Bim! Gak tau, tapi kenapa? Kenapa gue disalahin?"

Dara kembali lemas. Tubuhnya hampir kembali terjatuh, namun Abim lebih dulu menangkapnya. Dara terjatuh di pelukan Abim, ia tidak pingsan, hanya lemas saja. Tenaganya terkuras habis untuk menangis dan meratapi kesalahan yang ditujukan padanya padahal Dara sama sekali tidak tau.

"Gak ada yang nyalahin! Itu pikiran Lo sendiri, Ra."

Abim yang memang tidak mengetahui hal yang telah terjadi antara Dara dan neneknya merasa bahwa ucapan yang Dara lontarkan berasal dari pemikirannya sendiri. Mengingat kejadian kemarin, tiba-tiba Dara mengurungkan niatnya untuk berangkat menemui papanya hanya karena hal yang ia takutkan dan berasal dari pikirannya sendiri, hasil kesimpulannya sendiri.

"Bukan gak ada, tapi lo aja yang gak tau."

Abim merasa bingung dengan jawaban Dara. Tanpa banyak bertanya lagi, Abim menarik tangan Dara dengan perlahan, ia berniat mengajak Dara kembali untuk menemui papanya. Namun, Dara malah  menghentakkan genggaman tangan Abim yang melingkar di pergelangan tangannya dengan kasar.

"Gue gak mau kesana, Bim, gak mau! Gue takut kehilangan Papa, gue gak mau disalahin kalau terjadi apa-apa sama Papa. Gue takut." 

Dara kembali menangis hingga suaranya serak dan air mata pun semakin deras membasahi pipinya. Dara sangat ketakutan. Dara rindu Papa, tapi Dara tidak mau menemuinya, bukan tidak mau, lebih tepatnya ia takut, takut jika kemungkinan terburuk akan terjadi saat ia menemui cinta pertamanya itu.

Abim sedikit mengerti, ia tidak mungkin terus memaksa gadis itu untuk menemui papanya. Keadaan Dara tidak memungkinkan jika terus dipaksa, gadis itu pasti akan semakin tertekan dan ketakutan.

"Yaudah kita gak usah ke sana dulu ya."

Abim kembali meraih tangan Dara, kali ini dia tidak akan membiarkan Dara melepaskan lagi genggamannya. Kondisi Dara begitu memilukan, tidak mungkin Abim membiarkan gadis itu berjalan sendiri tanpa pengawasan darinya. Setidaknya jika Abim menggandeng tangan Dara, gadis itu akan tetap berada di dekatnya, dan ia pastikan akan baik-baik saja.

Mereka berjalan menuju parkiran untuk menemui lelaki yang mengantar mereka dari bandara menuju rumah sakit. Mereka menemukan mobilnya, tapi lelaki itu tidak ada disana.

Beberapa menit Dara dan Abim menunggu di sekitar mobil yang terparkir diantara mobil yang lain. Seorang perempuan muda dengan tubuh semampai berjalan ke arah tempat mereka berdiri dengan barang beberapa barang yang ada di tangannya.

"Dia siapa, Ra?"

Tanya Abim saat langkah perempuan muda itu semakin dekat ke arah mereka, dan sepertinya memang perempuan itu berniat untuk berjalan ke arah Dara dan Abim. Dara menanggapi pertanyaan Abim dengan mengangkat kedua bahunya, pertanda ia tidak tau siapa orang itu dan apa tujuannya.

Perempuan muda itu menghentikan langkahnya saat telah sampai di depan Abim dan Dara berdiri. Perempuan itu menurunkan barang bawaan yang semula berada di tangannya, kini ia letakkan di lantai parkiran.

"Hai, Dara ya? Saya Maya, yang waktu itu nelepon pakai nomor Papamu."

Maya memberikan telapak tangan kanannya ke arah Dara, lalu Dara pun mengangguk perlahan dan menyambut telapak tangan Maya. Walau tengah bersedih, Dara tidak akan pernah lupa cara bersikap ramah kepada seseorang, ia menampilkan seulas senyum pada Maya yang menyapanya dengan hangat.

"Ayo ikut saya, kita keliling Kuala Lumpur supaya kamu gak bosen disini."

Ajak Maya dengan senyum yang ramah. Maya lebih tua lima tahun dari Dara, tapi sepertinya dia tidak mempermasalahkan hal itu, terlihat dari gerak-geriknya yang ramah, dan menganggap Dara teman seusianya. Dara tidak menanggapi ajakan Maya, ia menoleh ke arah Abim untuk melihat reaksi sahabatnya itu, apakah akan diizinkan atau tidak.

"Kita baru ketemu, dan lo-"

"Jangan pakai lo gue, dia bukan orang Indo," sahut Dara bahkan sebelum Abim menyelesaikan kalimatnya.

Maya menampilkan senyumnya yang ramah, perempuan muda itu memang begitu lemah lembut, tapi dia sangat mudah akrab dengan orang. Karena dia bisa memulai percakapan dengan orang baru,dan membuat nyaman orang-orang yang ia temui.

"Tidak perlu khawatir, saya akan menemani Dara selama disini," jelas Maya.

Abim mengangguk kecil. Pandangannya beralih menatap Dara untuk melihat reaksi sahabatnya itu, apakah Dara bersedia atau tidak. Jika Dara tidak bersedia, maka Abim akan membantunya untuk menolak tawaran Maya, namun jika Dara bersedia, maka Abim akan meminta Maya menjaga sahabatnya itu baik-baik.

Dara tidak bereaksi apa-apa, ia hanya membalas tatapan Abim dengan raut muka datar tanpa ekspresi apapun. Keduanya bertatapan tanpa berbicara apapun.

"Dara, tinggal di rumah saya saja," ucap Maya sembari memperlihatkan kunci rumahnya  yang ada di salah satu jemarinya lalu beralih menatap Abim.

"Kamu pacarnya Dara?"

Abim dan Dara terkejut dengan ungkapan Maya. Mulut Abim terbuka hendak menyangkal ucapan Maya, tapi tidak sempat, Maya lebih dulu meraih tangan Dara dan mengajaknya menuju mobil. Terpaksa Abim mengikuti mereka dari belakang karena ia tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan pada Dara.

"Ayo masuk, supaya kita bisa lebih cepat berangkat, Dara sepertinya sudah lelah. Dan kamu, siapa namamu?"

Maya menatap ke arah Abim. Pertanyaannya memang ia lontarkan pada Abim karena cowok itu tidak ia kenali, dan Abim juga tidak memperkenalkan diri.

"Abim," balas cowok itu singkat.

"Dia bukan pacarku,tapi sahabat."

Dara menambahkan kalimat yang memperjelas hubungannya dengan Abim supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Abim pun menanggapinya dengan mengangguk.

"Oke, kalau kamu mau, bisa ikut pergi bersama kami."

"Tidak usah, kalian pergi saja, dan tolong jaga Dara dengan baik."

Merasa bahwa Maya adalah orang baik, Abim merasa tenang membiarkan Dara pergi berdua saja bersama Maya. Dirinya lebih memilih untuk memesan mobil online untuk mengantarnya ke hotel yang telah ia pesan untuk menginap beberapa hari di Kuala Lumpur. Lagipula lebih baik jika Dara bersama Maya, sama-sama perempuan, pasti Maya lebih bisa mengerti apa yang Dara butuhkan.

"Tenang, saya saudaranya Dara. Dia akan saya jaga sebaik mungkin."

Maya mengatakan hal itu pada Abim sembari melambaikan tangannya dan tersenyum tipis. Dirinya menggandeng tangan Dara dan mengajak gadis itu untuk masuk ke dalam mobil.

Menuju Rembulan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang