6. Dia Bukan Papa

89 43 126
                                    

"Aduh! Ayo dong ada, please!"

Pandangan Abim terfokus pada layar benda elektronik yang ada di genggamannya. Jemarinya tergerak menggeser layar bercahaya itu dengan mulut yang tak henti hentinya mengomel karena tidak kunjung menemukan hal yang tengah ia cari. 

Sepasang kaki bersepatu olahraga mendarat tepat di depannya, karena terlalu fokus dengan layar benda elektronik yang ada di tangannya, Abim tidak memperdulikan seseorang yang berdiri di depannya, hingga orang itu menepuk bahunya. Spontan Abim mendongakkan kepalanya menatap lurus ke arah seseorang yang telah menepuk bahunya, dan memecah fokusnya.

"Kean? Ngapain lo?"

Abim menarik pandangannya kembali mengarah ke benda yang menjadi fokusnya sejak tadi. Kean mengikuti dengan berjalan ke arah samping kanannya, lalu duduk tepat di sebelah kanan Abim.

"Bukan urusan lo!"

Balas Kean sembari mengeluarkan benda serupa seperti yang ada di tangan Abim, dirinya terfokus mengetikkan sesuatu di atas layar benda itu. Abim pun tak begitu mempedulikan, dirinya hanya sedikit melirik setelahnya menarik kembali lirikannya.

Abim menghembuskan napas beberapa kali dengan mulut yang terus mengomeli layar benda elektronik yang ada di tangannya. Hal itu ia lakukan terus menerus karena tidak segera mendapatkan apa yang ia inginkan, tentu yang dilakukan Abim itu menarik perhatian Kean untuk melihat dan sekedar bertanya padanya.

"Ngapain sih lo? Berisik banget perasaan."

Kean menepuk bahu Abim sedikit keras, diikuti gerakan tangannya yang mendorong kecil Abim ke arah yang berlawanan dari tempatnya duduk. Abim hanya tergerak kecil, karena dorongan yang dilesatkan Kean memang tidak keras. Kean mendongakkan kepalanya, melirik ke arah layar ponsel Abim yang menyala sangat cerah bagai cahaya hidayah yang turun dari langit ketujuh.

"Gaya banget, mau ke luar negeri Lo?"

Tanya Kean sedikit meledek. Setelahnya ia kembali ke posisi duduknya semula, sungguh ia sebenarnya tidak suka basa-basi yang terkesan basi seperti ini. Tapi karena dirinya sudah mengenal Abim, ya sekedar mengenal dari cerita Dara tentang sahabat sejak kecilnya itu, Kean mencoba untuk bisa lebih dekat dengan Abim. Walau mereka satu sekolah, tapi mereka tidak begitu dekat, karena mereka berbeda jurusan.

Kalau kata Abim, Biasalah, jurusan seberang.

Abim baru teringat, kenapa tidak mencoba meminta tolong ke cowok yang duduk di sebelahnya itu? Sepertinya dia juga tidak sedang sibuk. Poin tambahannya, Kean pasti sering bepergian untuk mengikuti turnamen, dan pasti dia sudah terbiasa dengan urusan pembelian tiket.

"Lo mau bantuin gue gak? Ralat, bantuin Dara maksudnya," tanya Abim.

Mendengar pertanyaan yang Abim lontarkan, Kean pun meletakkan benda pipih yang semula berada di genggaman tangannya. Kepalanya menoleh ke arah suara berasal, dan ia pun menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah Abim.

"Bantuin apa?"

"Cariin tiket pesawat ke Malaysia yang bisa berangkat secepatnya." Abim menyerahkan ponselnya ke arah Kean.

Kean menautkan alisnya, menatap Abim dengan penuh rasa heran. Kenapa mendadak sekali, tidak biasanya Dara mau bepergian jauh, apalagi sampai ke luar negeri. Kean benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Kean memang kekasih Dara, tapi soal hal yang terjadi di kehidupan Dara, dia kalah segaris dari Abim.

"Buat apa?" tanya Kean.

"Udah cariin aja, nanti gue ceritain semua," balas Abim.

Abim beranjak dari duduknya. Kakinya hendak melangkah pergi setelah menyerahkan tugasnya mencari tiket pada orang yang ia anggap lebih berpengalaman. Mungkin saja Kean bisa lebih cepat mendapatkan tiketnya, daripada dirinya yang mencari.

Menuju Rembulan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang