7. 'Putri Bidadari'

20 3 0
                                    

Setelah menggunakan anugerahnya, Eleanor diam tak bersuara. Bahkan ia tak menanggapi Liona yang berulang kali mengajaknya bicara.

Liona tak tahan lagi. "Maaf Lea... Aku tidak bermaksud, aku tidak takut. Sungguh. Aku hanya terkejut. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang mengeluarkan cahaya dari telapak tangannya. Maafkan aku. Sungguh."

Eleanor menatap kedua netra Liona. "Tidak apa." jawabnya singkat.

"Aku sudah biasa dengan itu." batinnya.

Eleanor tidak marah. Hanya saja, tatapan Liona mengingatkannya pada Ratu Slavinna, ibu kandungnya. Ratu Slavinna selalu menatap Eleanor dengan tatapan itu setiap kali ia menggunakan anugerahnya. Bahkan alasan ibunya meninggalkannya adalah karena anugerahnya. Sejak saat itu, Eleanor kehilangan kepercayaan dirinya. Ia merasa anugerahnya adalah aib. Dan Eleanor berusaha menyembunyikannya sebanyak yang ia bisa.

Liona berusaha merangkai kalimat untuk mencairkan suasana. "Itu sangat ajaib. Seperti melihat seorang bidadari dalam buku dongeng yang aku baca saat kecil. Apakah aku harus memanggilmu putri bidadari sekarang?"

Liona menghela napas melihat Eleanor yang masih saja diam dan terlihat murung.

Tapi, ketegangan itu tak berlangsung lama. Liona tersenyum senang setelah mendengar Eleanor menanggapi ucapannya.

"Tidak perlu. Aku tidak se-ajaib itu. Aku hanya manusia biasa ka. Aku tidak abadi seperti bidadari yang kau maksud."

Liona membuka tirai lebar-lebar. "bidadariku tersayang... Selamat datang di kerajaanku!" ucap Liona dengan semangat.

Eleanor menatap keindahan alam yang bisa ia lihat sepanjang jalan. Bukan hanya indah, tapi juga mewah. Kerajaan Amarilis memang salah satu kerajaan kaya di Arcania.

"Sangat indah."

Tiba tiba Eleanor teringat dengan tujuannya sebelumnya. Ia harus segera pergi ke Kerajaan Sage.

"Hhm... Ka... Bolehkah kau tutup tirainya?" ucap Eleanor hati hati.

"Oh baiklah." Liona segera menutup tirai dan memperhatikan Eleanor yang tiba tiba meringkuk sembari menyentuh perutnya.

"Lea... Kau kenapa? Apa kau sakit?" tanyanya khawatir.

"Tidak. Ak...aku hanya... Hanya... Hmm... Sepertinya aku tidak cocok dengan cuaca kerajaanmu. Bolehkah aku kembali ke rumah?" ucap Eleanor terbata.

"Maaf ka. Aku harus berbohong saat ini." batin Eleanor.

Liona bergerak panik. "Ba... bagaimana ini... Aku harus memanggil tabib. Sebaiknya kita menuju istanaku dan memeriksa kondisimu. Tidak baik kau pergi dalam kondisi seperti ini..."

"Tidak. Semakin masuk ke dalam kerajaanmu, perutku semakin terasa tercekik. Bolehkah kirim sebuah kereta kuda untukku dan izinkan aku pulang?"

"Apa kau baik baik saja pulang sendiri?"

"Tidak masalah. Kau tau aku bisa melindungi diriku sendiri sekarang."

Liona terdiam selama beberapa saat. Ia masih enggan mengizinkan Eleanor pergi.

"Ka.. kumohon." ucap Eleanor.

Liona akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tunggu sebentar."

"Prajurit. Ambilkan kereta kuda yang lain dan bawalah obat untuk sakit perut." Titah Liona kepada prajurit yang ada di dekat kereta kuda.

"Baik putri."

Beberapa saat kemudian, sebuah kereta kuda tiba, seorang prajurit mengetuk pintu untuk menyerahkan obat yang Liona minta dan memberitahu bahwa kereta kuda telah siap.

"Minumlah obatnya terlebih dahulu sebelum kau pergi." ucap Liona.

"Baik." Eleanor menurut. Ia meminum obat yang diberikan Liona padanya dalam sekali teguk.

Setelah itu, barulah Liona mengizinkan Eleanor pulang. "Maafkan aku. Aku tidak memperhatikan kondisimu. Aku tidak tau kondisi alam kerajaanku tidak cocok untukmu."

"Tidak apa ka. Kumohon jangan khawatirkan aku. Ini tidak parah. Aku akan sembuh setelah tidur beberapa saat. Jangan buat dirimu sedih di hari bahagia saudaramu. Ingatlah untuk bersenang senang bersama keluargamu. Aku baik baik saja." ucap Eleanor.

Liona mengangguk. "Jaga dirimu Lea... Terimakasih telah mengantarku sampai dengan selamat. Kau juga harus sampai dengan selamat."

Eleanor mengangguk "Baik. Aku janji."

..........

Arden tiba tiba membungkukkan badannya di depan Raja Asterion.

"Maukah kau menjadi guruku?" ucapnya sembari menatap Raja Asterion yang nampak terkejut.

"Maaf anak muda. Aku tidak menerima seorang murid." jawab Raja Asterion sembari menunduk berusaha menegakkan tubuh pemuda di depannya.

Setelah pemuda itu bangkit. Raja Asterion menghela napas panjang. "Aku bukan guru yang tepat. Banyak guru hebat di kerajaanmu. Pilihlah salah satu di antara mereka."

''Apakah aku tidak pantas menjadi muridmu? katakan padaku. syarat apa yang harus kupenuhi agar kau mau menerimaku sebagai muridmu.''

Pemuda di depannya masih saja bersikeras. Raja Asterion mengamati pemuda di hadapannya. Ia bisa melihat tekad pada kedua netra hitam pekat itu. ''Jika ingin menjadi muridku... maka hilangkan niatmu untuk memburu para penyihir itu. kau bersedia?''

Tatapan pemuda di depannya terlihat goyah. Pemuda itu menunduk. ''Aku...''

Raja Asterion menepuk kedua bahu Arden kuat. Hingga pemuda itu kembali menegakkan kepalanya. ''Arden! Bukankah kau kemari untuk kompetisi eviga lov itu?''

Arden tertegun. ''Bagaimana kau tau?''

''Sudah jelas. untuk apa seorang pangeran Sapphire kemari jika bukan untuk kompetisi eviga lov itu?''

Sejak mencium bau yang khas dari tubuh pemuda di depannya. Kegelapan yang kuat. Raja Asterion tau pemuda di depannya adalah manusia pemilik anugerah sepertinya. Di penjuru Arcania hanya sedikit pemilik anugerah. Dan setelah pemuda itu memperkenalkan dirinya dan menyebutkan asalnya. Raja Asterion mengenali pemuda itu, putra kedua Raja Aeros dan pemilik simbol kegelapan sejak dalam kandungan ibunya, Pangeran Aeros II.

Arden kehilangan kata-kata. Pria di depannya seperti seorang peramal. Ia tau segala hal tentangnya. Bahkan ia kini mengenali identitasnya, sementara masyarakat di kerajaannya saja tidak tau nama panggilannya. Mereka hanya mengenal Arden dengan nama gelarnya yakni Pangeran Aeros II.

''Benar. kedatanganku memang untuk mendapatkan eviga lov. Itu sebelum aku melihat penyihir dengan mata kepalaku sendiri. prioritasku berubah. jantung penyihir adalah obat utama yang dibutuhkan ibuku. aku harus mengejar kepastian. eviga lov hanya sebuah kepercayaan, belum terbukti saat ini.''

''Tidak! lupakan tentang penyihir. fokuslah mengikuti kompetisi. eviga lov yang kau maksud adalah tanaman obat yang bermanfaat untuk ibumu. Meskipun tidak menyembuhkan sepenuhnya, aku bisa memastikan bahwa itu akan sangat berguna untuknya.''

''Benarkah? tapi...''

''Bukankah seorang murid harus mempercayai gurunya? sepertinya kau memang tidak bersungguh sungguh ingin menjadi muridku.''

Arden tersenyum. Ucapan Raja Asterion sangat jelas, ia telah menerima Arden sebagai muridnya. ''Baik. aku akan bersungguh sungguh mengikuti kompetisi ini, guru. akan kupastikan membawa pulang eviga lov itu untuk ibukku.''

''Bagus. persiapkan dirimu. buktikan ucapanmu. buat gurumu bangga.''

''Aku akan menepati ucapanku.'' ucap Arden untuk terakhir kali. Kemudian ia memberi salam dan pergi untuk mempersiapkan diri.

Raja Asterion menatap kepergian Arden. Ia menghela napas panjang. ''Aku tidak akan membiarkanmu mengikuti jalanku. Berurusan dengan Penyihir hanya akan memberikan pengorbanan tanpa akhir.''

..........

Aster dan PermataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang