6. Kencan Buta

5.4K 503 24
                                    

Happy reading all, jangan lupa vote dan comment nya biar semangat nulis dan rajin update. Thank you...

***

"Kamu nggak lupa janji kamu yang kemarin sebelum ke Paris kan?" Suara di seberang telepon sana membuat Mila setengah geli.

"Kalau Mila lupa ngapain Mila kasih tahu papi kalau Mila udah balik dari Paris?" Sahut Mila tidak habis pikir pada ayahnya.

Dia bahkan langsung mengabari ayahnya kalau dia sudah ada di Indonesia begitu sampai di apartemennya. Bahkan ketika dia sendiri belum membersihkan diri dan mengisi perutnya. Hanya karena satu pesan yang tidak dibalas dan beberapa panggilan yang tidak terjawab saja sampai membuat ayahnya berpikir kalau Mila berubah pikiran.

"Habisnya papi sama mami telepon kamu nggak diangkat sama sekali. Bikin kami khawatir tau!" Hardik Wirya kesal. Kalau saja Mila ada di hadapan Wirya, mungkin tangan Wirya sudah menjitak kepala pintar putrinya itu.

"Mila cuma tidur aja pi!!! Paris-Jakarta itu melelahkan, belum lagi transitnya yang nggak bisa dibilang sebentar!" Mila ikutan kesal juga pada ayahnya lama-lama.

"Ya sudah kalau begitu, papi kasih nomor kamu ke Yoga saja ya, biar kalian atur saja mau ketemuan dimana. Sabtu ini pokoknya Yoga sudah bilang bisa. Papi nggak mau tahu!"

Mila menghela nafas kesal. Baru saja dia sadar dari tidur panjangnya dengan perut keroncongan, pagi-pagi begini dia sudah kena semprot ayahnya sendiri. Beruntung saja Ayahnya tidak datang langsung kemari dan mendobrak pintu apartemennya.

Mila bangkit dari tempat tidur, menuju ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Dia merapihkan sedikit dandanannya supaya tidak ketara sekali habis bangun tidur. Kemudian Mila menyambah jaket abu-abu miliknya yang panjangnya selutut dan merapatkannya untuk menutupi baju tidurnya yang minim. Tidak lupa dia juga mengambil dompetnya.

Sarapan adalah satu-satunya hal yang ada di kepalanya sekarang. Perutnya sudah demo, dia juga sedang tidak punya roti untuk dijadikan sarapan. Tidak mungkin juga dia repot-repot masak hanya untuk dirinya sendiri. Mencari sarapan di luar menjadi hal yang paling masuk akal saat ini.

Keluar dari apartemen mata Mila tertuju pada pintu unit apartemen di sampingnya yang sekarang ditempati oleh Dipta. Mimpi buruknya datang lagi, kalau mengikuti kata hati Mila ingin pindah rasanya dari sini. Tapi lucu sekali, kenapa juga dia harus pindah padahal dia duluan yang menempati apartemen ini.

Baru saja pikirannya tertuju pada Dipta, lelaki itu sudah ada di hadapannya. Menunggu di depan lift yang akan membawa mereka turun. Mila mengamati penampilah Dipta yang rapi pagi ini. Kemeja hijau muda yang masih licin, celana bahan dan jas hitam yang juga sama rapinya. Rambutnya juga sudah ditata sedemikian rupa. Tampan? Tentu saja! Memangnya kapan seorang Pradipta tidak tampan di hadapan Mila.

Kalau dulu detak jantung Mila akan menggebu tidak karu-karuan, sekarang dia sudah bisa sedikit bersyukur karena jantungnya masih aman-aman saja. Tidur sepanjang hari memberikan waktu yang cukup bagi Mila untuk memikirkan apa yang harus dia lakukan kalau-kalau orang-orang dari masa lalunya masih tidak tahu diri dan tidak bisa dikasihani. Jadi tentu saja Mila sudah siap mental untuk berhadapan dengan Dipta.

"Selamat pagi, kamu tidak bekerja hari ini?" Sapa Dipta sopan, dan jangan lupakan senyumnya yang dia berikan untuk Mila.

Mila hanya terpaku, haruskah dia menjawab? Karena dia sendiri enggan sebenarnya menjawab pertanyaan Dipta. Basa-basi busuk. Tapi demi sopan santun dan tata krama Mila harus menurunkan egonya.

"Tidak..." Balas Mila singkat tanpa mau repot menatap Dipta yang tentu saja masih mengamati Mila.

"Lalu mau kemana?"

Ternyata Kita Tetangga (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang