「O.4 : Beban di pundak」

576 89 10
                                    

.
.
.
Selamat membaca
.
.
.

PENAMPILAN Ibnu pagi bisa dibilang sangat kacau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PENAMPILAN Ibnu pagi bisa dibilang sangat kacau. Messy hair, mata sayu lengkap dengan bulatan hitam di bawahnya, dan bibir mungil yang terlihat pucat. Benar-benar berantakan.

Semalam ia bergelut dengan dirinya sendiri. Antara kata hati dan pikiran, antara lakukan atau jangan. Ini tentang menghubungi atau tidak mengubungi Manaf.

Hati Ibnu sangat ingin menghubungi Manaf, tetapi apa yang ada di kepalanya selalu menolak. Berujung dengan Ibnu tidak menelpon sang kakak.

Ibnu tunduk pada pikirannya.

Lalu, pagi ini ia bangun dengan keadaan menyesal. Tak henti-hentinya ia mengacak-acak rambut hitam legam miliknya.

Bodoh. Begitu mungkin makian yang ia layangkan pada dirinya.

“Harusnya telepon aja, kan? Buat apa minta nomor kalau nggak ditelpon,” gerutunya. Sambil bercermin, Ibnu merapikan seragam yang ia kenakan.

“Ibnu bener-bener nggak berubah, selalu jadi orang penuh keraguan.”

Puas mengoceh tentang ulahnya sendiri, Ibnu bergegas keluar kamar. Berjalan perlahan ke ruang makan, dimana sudah ada Ibu yang sedang menyiapkan bekal makannya.

“Kayaknya hari ini Ibu pulang telat, katering ibu bener-bener rame. Nggak apa-apa?”

Ibnu menoleh menatap Ibu yang masih sibuk dengan kegiatannya. Bagi Ibnu itu bukan masalah besar.

“Nggak apa-apa, Bu.”

Ibu mengulas senyum saat mendengar jawaban Ibnu.

Jujur, Ibnu ingin memberitahu soal Manaf kepada Ibu. Namun, ada banyak keraguan yang menahannya untuk bercerita. Berakhir dengan Ibnu yang malah memandang wajah Ibu.

“Ada yang salah sama Ibu?” tanyanya. Bekal yang sudah siap ia sodorkan pada Ibnu.

Ibnu menggeleng pelan. “Bu?” panggil Ibnu lembut.

“Iya, Ibnu?” balas Ibu tak kalah lembut.

“Ibu, kapan ... kita jemput aa?"”

Helaan napas terdengar jelas sebelum Ibnu mengajukan pertanyaan tersebut. Ia sudah siap dengan jawaban klise yang kemungkinan akan kembali Ibu ucap.

Namun, Ibnu salah.

Ibu memilih terdiam, alih-alih menjawab pertanyaan yang sudah ribuan kali ia dengar ini. Merapikan meja makan adalah pilihan yang ibu buat.

Merasa tak akan mendapat jawaban, lantas Ibnu memilih untuk pamit pergi saja. Lebih lama diam pun hanya akan membuang waktunya.

“Udah siang, kalau gitu Ibnu pergi dulu, ya? Assalamualaikum,” pamitnya. Persis setelah memasukkan bekal makan siangnya ke tas.

Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang