「O.2 : Melepas rindu」

780 155 49
                                    

“Ibu kapan jemput, Aa?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ibu kapan jemput, Aa?

ITU adalah kalimat yang tak pernah absen untuk Ibnu tanyakan pada ibu. Setidaknya sampai ia menginjak bangku SMA.

Sama halnya dengan Manaf, Ibnu pun selalu memegang janji yang ibu buat untuk Manaf. Setiap waktu bibir itu selalu menanyakan hal yang sama. Siapa yang tidak berharap jika seseorang sudah mengiming-imingi sebuah janji?

Mereka pasti berharap bahwa janji itu akan ditepati. Namun, seiring berjalannya waktu Ibnu perlahan mengubur janji itu. Selain jawaban ibu yang berulang, setiap kali nama kakaknya disebut, ibu hanya merespon dengan seadanya.

Seolah Manaf bukanlah hal yang menarik untuk dibahas.

Ibnu juga lelah kalau harus berharap tanpa diberi kepastian.

Kita pindah rumah lagi ya, Nu?

Entah kenapa ketika mendengar itu, alih-alih sedih Ibnu justru senang bukan main. Terlebih setelah tahu ia akan pindah kemana. Ibnu akan kembali ke kota di mana ia dulu banyak belajar dengan sang kakak.

Pertanyaan yang sama sempat Ibnu lempar secara spontan pada ibu, tapi sayangnya pertanyaan itu hanya dianggap angin lalu.

“Bu?” Ibnu memanggil sang Ibu yang tengah asik menyiapkan bekal untuknya.

“Ya, Nu? Kenapa?”

Beberapa detik berlalu dan Ibnu malah terdiam. Ia menatap Ibu dengan tatapan sayu.

“Kenapa Ibnu?” ulang Ibu.

Ibnu menggelengkan kepala. Rasanya percuma kalau membicarakan Manaf saat ini.

“Ya udah, ini bekal makan kamu. Kamu beneran bisa ke sekolah sendiri?” Ibu menyerahkan kotak bekal berwarna ungu pada Ibnu.

Secara telaten Ibu merapikan dasi putranya yang kini sudah jauh lebih tinggi darinya. Padahal Ibu merasa baru kemarin tinggi putranya masih sejajar dengan pundaknya.

“Nggak apa-apa, tinggal cari pak Rahmat aja, kan? Nanti dia yang bakal nunjukin kelasnya buat Ibnu.”

Ibu mengangguk, tak menyangka sekarang Ibnu sudah besar dan bisa melakukan semua hal sendiri.

“Iya, hati-hati bawa motornya.” Ibnu hanya mengangguk sebagai jawaban.

Setelah memasukan kotak bekalnya ke dalam tas, Ibnu bergegas pergi. Tak lupa ia mencium punggung tangan sang Ibu dengan lembut sebelum pergi.

“Ibnu berangkat dulu ya, Bu? Assalamualaikum?”

Ibu tersenyum disertai anggukan kecil. “Waalaikumsalam.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang