「1.4 : Sesak dan lelah」

608 71 14
                                    

.
.
.
Selamat Membaca
.
.
.

JALANAN kota sore ini seperti biasa selalu ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JALANAN kota sore ini seperti biasa selalu ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Warna merah pada lalu lintas terpampang jelas menandakan semua pengendara harus berhenti dan memberi giliran pejalan kaki untuk melintas.

Ibnu berada paling depan batas garis putih tempat menyeberang. Sorot matanya kosong, bercak sisa air mata pun masih tersisa jelas di sana. Ibnu sadar jika kini ia sedang jadi pusat perhatian bagi sebagian pengguna jalan. Namun, Ibnu abai dengan semuanya.

Seluruh pikirannya masih tertinggal di tempat Manaf.

Ibnu benar-benar pergi, sendiri, sesuai dengan permintaan Manaf. Langkahnya benar-benar terasa berat untuk meninggalkan Manaf dengan bapak yang entah bagaimana nasibnya sekarang.

Sekadar memasukan kunci motor pun tangannya bergetar hebat. Isak tangis tak bisa lagi terbendung. Ibnu menangis hebat detik itu juga.

Tanpa menghapus air mata yang mengalir deras Ibnu menjauh dari rumah semasa kecilnya. Meninggalkan sebagian tetangga yang entah sejak kapan mulai bermunculan dan menunjukkan raut kebingungan.

“Hah ….” Hela napas berat dan sesak berembus dari mulut Ibnu.

Bunyi klakson yang saling bersahutan sukses membawa Ibnu kembali pada kenyataan. Buru-buru ia melajukan motornya.

Namun, baru sebentar motor yang ia kendarai berjalan, Ibnu langsung menepi di tempat yang sepi dan sedikit orang lewat.

Ibnu berusaha menenangkan isi kepalanya. Ia tak bisa berkendara dengan pikiran yang berkelana kemana-mana. Maka dari itu Ibnu putuskan untuk berhenti sejenak.

Kepalanya ia benamkan pada lipatan tangan yang ia taruh di atas kemudi motor. Dalam posisi seperti itu, Ibnu biarkan air matanya kembali jatuh mengalir.

Sebab sejujurnya dada Ibnu terasa sangat sesak jika harus terus menahannya.

Betapa sakitnya ketika ia harus membiarkan Manaf tetap berada dalam belenggu kekejaman bapak. Dalam hati, ia terus merutuki dirinya yang lemah dan tak mampu berbuat apapun.

 Dalam hati, ia terus merutuki dirinya yang lemah dan tak mampu berbuat apapun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang