「O.9 : Map dan setumpuk kertas 」

405 65 10
                                    

.
.
.
Selamat Membaca
.
.
.

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

IBNU termenung. Ditemani semangkuk sereal hangat yang memancarkan aroma menggoda dan pencahayaan ruang makan yang lembut, Ibnu mengingat kembali apa saja yang sudah ia lakukan pada Manaf.

Benarkah semuanya berlebihan?

"Nggak, ah! Perasaan itu sama kayak yang Aa lakuin dulu," gumamnya.

Ibnu semakin erat memeluk lutut yang ia naikan ke atas kursi, tanpa menaruh sendok di genggamannya.

Di ruangan yang redup, pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Ia teringat saat-saat bahagia bersama Manaf. Saat itu, Manaf selalu jadi yang terdepan ketika Ibnu berada dalam masalah.

Ketika Ibnu pulang sekolah dalam keadaan menangis, karena teman sekelasnya memanggil dirinya dengan sebutan 'bocel'-tubuh Ibnu termasuk kecil sewaktu sekolah dulu-dengan sigap Manaf menghampiri dan menegur semua yang sudah mengejek Ibnu.

Lalu, ketika ia terjatuh dari sepeda dan mendapatkan luka di bagian lutut dan dagu, Manaf juga yang sigap mengobati semua luka itu.

Manaf selalu memastikan Ibnu dalam situasi yang baik dan nyaman.

Begitu pula yang ingin Ibnu lakukan saat ini. Memastikan bahwa Manaf dalam keadaan yang baik-baik saja. Namun, ternyata sang kakak malah tak suka.

"Padahal, mah, biasa aja. Semuanya juga sama yang kayak Aa lakuin dulu. Aa juga dulu suka minta tolong lewat temennya buat jagain Aang kalau, main. Nggak adil banget," gerutu Ibnu. Saat ini kepalanya sudah tenggelam sempurna di antara lipatan lututnya.

"Berlebihannya di bagian mana, sih?" sebalnya.

Ibnu kembali duduk tegak. Kakinya ia jatuhkan begitu saja ke lantai, kemudian melanjutkan menyantap sereal hangat yang kini mulai terasa dingin.

"Ibnu? Kamu ngapain? Udah malem kok, belum tidur? Terus kenapa kayak kesel gitu? Ada masalah?"

Sontak saja Ibnu terkejut. Hampir saja dia menyemburkan makanan yang baru saja masuk ke dalam mulut. Ibnu memutar badan dan mendapati Ibu yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Ibu?" lirih Ibnu.

"Ngapain?"

"Ini, lagi ngemil. Barusan Ibnu tiba-tiba laper, Bu," kilah Ibnu. Ia berusaha tenang, meski dalam hatinya berkata apa Ibu dengar semua celotehannya barusan.

"Kenapa nggak bilang ke Ibu? Ibu bisa masakin makanan buat kamu, Nu."

Ibnu menggeleng pelan. "Nggak usahlah. Udah malem juga, Ibnu nggak mau ganggu Ibu. Ibu juga pasti capek, kan? Seharian urus catering-nya Ibu. Catering-nya masih rame?"

Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang