「2.0 : Sebuah perdebatan 」

548 64 6
                                    

.
.
.
Selamat Membaca
.
.
.

SEJAK hari dimana Manaf mengembalikan semua uang yang ia berikan, suasana hati Esa tak pernah tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEJAK hari dimana Manaf mengembalikan semua uang yang ia berikan, suasana hati Esa tak pernah tenang. Kegelisahan dan rasa takut akan perlawanan yang mungkin saja Manaf lakukan, terus menghantui.

Tatapan kosong tertuju pada lantai kelas yang kini sedang kosong. Pikirannya berkelana, terombang-ambing di lautan kekhawatiran. Ruangan tempatnya berada, terasa sangat senyap dan hanya diisi oleh deruan napas tak beraturan, Esa berulang kali mengembuskan napas dalam.

“Dia mau buktiin apa? Dia nggak punya bukti apa-apa,” gumamnya pelan, mengutarakan kalimat yang setidaknya bisa menenangkan dirinya.

Sampai tiba-tiba, derap langkah mantap menggema dari luar kelas. Sosok gadis berambut panjang muncul dari balik pintu dan mendekat ke arahnya. Raut mukanya tak bersahabat sekali, bagaimana dahi putih yang tertutup sedikit helaian rambut mengkerut secara sempurna. Lalu, ia mengambil posisi di depan Esa, setelah secara kasar memutar kursi kosong untuk ia duduki.

“Lo mau seterusnya hidup dalam sandiwara yang lo bikin?” tanya gadis itu, langsung tanpa basa-basi.

Esa sedikit terkejut, kemudian balik bertanya dengan suara yang tak kalah tinggi. “Maksud lo apa?”

Sambil menyilangkan tangan, gadis di depan Esa memutar bola mata, tertawa kecil seolah tengah mengejek.

“Nggak usah pura-pura bego gitu, gue tau ini semua itu ulah lo Esa,” tekannya.

Esa memejamkan mata, tangannya menggaruk-garuk kening diselingi dengan desis napas yang menunjukkan bahwa ia merasa kesal saat ini.

“Yumna!” Esa menatap wajah gadis di hadapannya. “Ngomong, tuh, yang jelas. Kasih konteksnya biar gue paham.”

Gadis yang ternyata adalah Yumna, semakin dibuat jengkel dengan tingkah laku Esa.

“Lo itu pinter, kan? Selalu juara satu, nggak ada yang bisa ngalahin. Eum …  paling-paling Manaf doang yang bisa kalahin, lo. Jadi intinya, maksud gue itu … masa gitu aja nggak paham? Ini soal tuduhan Manaf yang peras, lo. Itu, tuh nggak bener, kan? Lo cuma ngada-ngada aja, yang bener, tuh—”

“Itu udah bener. Apa yang salah?” Esa lebih dulu menyela, hal itu membuat Yumna menggeram sebal.

“Jangan kira gue nggak tau apa-apa, ya. Gue tau semuanya, kesepakatan gila yang lo buat,  sampai kejadian di pagi buta, tempat parkir.”

Detik itu juga mata tajam Esa membulat, pupilnya bergetar mendengar penuturan Yumna yang tiba-tiba.

Hari itu, ketika Yumna mengoceh karena harus berangkat pagi buta ke sekolah, ia yang tadinya sudah hampir sampai di kelas, terpaksa harus kembali memutar arah sebab ada barang yang tertinggal di dalam mobil. Pada saat itulah ia secara tidak sengaja melihat Esa dan Manaf. Berdiri saling berhadapan di ujung tempat parkir sepi, dengan gerak-gerik yang sedikit mencurigakan.

Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang