「2.8: Sebuah fakta menyakitkan」

584 63 8
                                    

.
.
.
.
.

IBU berdiri di depan pintu kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

IBU berdiri di depan pintu kamarnya. Niat hati keluar untuk mengambil segelas air karena merasa kehausan, ia justru mendapati pintu depan yang sedikit terbuka. Apa seseorang baru keluar? Namun, ketika Ibu cek tidak ada siapapun di luar sana. Ataukah ia sendiri yang lupa menutupnya, tetapi mana mungkin? Ibu selalu memastikan jika pintunya tertutup dengan rapat sebelum pergi tidur.

“Ibu ngapain?”

Dari arah belakang terdengar suara serak, khas bangun tidur. Itu Ibnu, dengan mata yang sekali tertutup akibat menahan kantuk, ia mendekat ke arah Ibu.

“Ini udah malem, kenapa Ibu ada di luar?” tanya. Ibnu ikut melongok ke arah luar.

“Kamu habis dari luar?” tanya Ibu, perlahan sesuatu yang menjanggal menghinggapi dirinya.

Ibnu menggeleng pelan. “Nggak. Ibnu baru bangun mau ke kamar mandi, tapi liat ibu ke sini. Jadi Ibnu samperin,” katanya, “Kenapa?”

Ibu terdiam sejenak. Meninggalkan Ibnu yang masih mengantuk, ia melangkah pergi ke kamar Manaf. Dengan tergesa-gesa ia membuka pintu kamar itu.

“Ibnu ... aa kamu ada di kamar kamu?”

Ibnu memiringkan kepalanya sedikit, kemudian menggeleng dengan penuh keraguan. “Bu? Kenapa?”

Hilang sudah rasa kantuk yang Ibnu, seluruh nyawanya sudah berkumpul menjadi satu, tepat ketika Ibu mengatakan jika Manaf tidak ada di kamarnya.

Ibu dan anak itu bergegas untuk pergi mencari Manaf. Padahal belum ada sehari Manaf pulang dari rumah sakit, anak itu sudah nekat untuk minggat.

Memang sejak kepulangan Manaf, Ibnu merasa jika langkah sang kakak begitu terasa berat. Bahkan ketika sudah berada di depan pintu rumah, Manaf sama sekali tidak mau melangkah masuk. Setelah dibujuk ia baru menurut.

Gembok masih terkunci, Ibu mengasumsikan jika mungkin saja Manaf manjat melalui pagar. Dari mana anak itu memiliki tenaga untuk memanjat, padahal ia belum pulih seutuhnya.

Ibu dan anak itu terpogoh-pogoh mengambil kunci kendaraan masing-masing. Lalu, bergegas berpencar-membelah kesunyian malam yang dingin untuk mencari Manaf. Berharap jika sosok yang dicari belum pergi terlalu jauh.

“Kenapa ngeyel amat atuh jadi orang téh, nurun dari mana, sih?”

Ah, Ibnu sangat jengkel saat ini. Ia merutuki segala tindakan bodoh sang kakak. Padahal tadi, Ibu sudah memberi wejangan agar Manaf tetap beristirahat, jangan sungkan karena rumah Ibu adalah rumahnya juga. Namun, semua itu malah dianggap angin lalu.

Tidak ada tempat spesifik yang akan Ibnu tuju, rencananya ia hanya akan mencari di sekitar jalan yang ia lalui. Sementara Ibu, ketika tahu Manaf pergi. Satu-satunya tempat yang terlintas di benaknya, yang mungkin Manaf tuju adalah rumah. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung bergegas. Ia tidak akan membiarkan Manaf lepas lagi, tidak sekarang.

Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang