「1.7 : Janji yang tak pernah terpenuhi」

465 76 19
                                    

.
.
.
Selamat Membaca
.
.
.

HAWA panas dari minyak penggorengan tampaknya tak membuat Manaf kepanasan sedikitpun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAWA panas dari minyak penggorengan tampaknya tak membuat Manaf kepanasan sedikitpun. Anak itu malah asik melamun, sambil sesekali menekan-nekan luka lebam di sudut mata.

Kegiatan itu tak luput dari penglihatan Mas Tegar. Ia bergidik ngeri melihat banyaknya luka di tubuh Manaf.

“Itu lukanya jangan dimainin, lho, biarin aja,” tegurnya. Ia berdiri tak jauh dari Manaf.

Tadi pagi, Mas Tegar dibuat melongo oleh kedatangan Manaf. Lelaki berdarah Jawa itu, seketika mematung melihat penampilan baru pegawainya.

Mulutnya yang terbuka ia tutup dengan salah satu telapak tangannya. Bahkan, saking terkejutnya Mas Tegar tidak sanggup mengeluarkan barang satu kata pun.

Ini bukan pemandangan baru, beberapa kali Mas Tegar selalu melihat Manaf dengan berbagai luka lebam di tubuhnya, tetapi tidak pernah seperti ini.

Dari awal Manaf bekerja sampai hari ini, mungkin ini adalah yang terparah.

Lantas, tanpa perlu bertanya Mas Tegar sudah tahu dari mana asal semua luka itu.

Merasa ditegur, Manaf menoleh dan mendapati Mas Tegar yang sudah rapi dengan tas di pundaknya.

“Mas Tegar mau pulang?” tanya Manaf.

Mas Tegar mengangguk. “Iya. Nanti malem tutup cepet aja, mau masih banyak atau sedikit, tutup cepet. Supaya kamu bisa istirahat, ngerti?”

“Iya, saya paham, kok,” jawab Manaf santai, ia kembali fokus pada wajan di depannya. Potongan ayam berbalut tepung dibaliknya satu persatu.

Yowes, aku pamit pulang. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” balas Manaf. Atensinya masih tertuju pada Mas Tegar, sampai sosok itu menghilang di belokan.

Hari ini Mas Tegar pulang sedikit lebih terlambat. Itu karena ada banyak pembeli yang datang, ia tak tega jika membiarkan Manaf melayani semua pelanggan itu sendiri. Belum lagi anak itu masih terlihat menahan rasa sakit di pundaknya.

Lantas, ketika dirasa kedai mulai sepi barulah ia pamit untuk pulang.

Potongan ayam terakhir baru Manaf angkat dari penggorengan, bertepatan dengan datangnya pembeli baru.

Misi, Nak, saya mau pesan ayamnya tiga potong, ya?

Mendengar itu dengan cekatan Manaf mengambil kantong dan capit yang biasa ia gunakan untuk mengambil potongan ayam.

“Mau bagian apa?” tanya Manaf. Ia memutar badan, menatap ke arah si pembeli yang ternyata seorang wanita paruh baya.

Keduanya saling bertukar tatap. Untuk sesaat waktu seolah berhenti. Baik Manaf maupun wanita paruh baya itu sama-sama terpaku.

Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang