15A

1.5K 62 0
                                    

Hadi yang sedang mengunyah pisang, menghentikan kunyahannya dan menatap Kiara tak percaya. "Kamu denger sendiri? Kapan?" tanya Hadi serius.

Kiara duduk tepat di depan suaminya. Dia lalu menceritakan semua kejadian di warung tempo hari. Percakapan dua orang yang membuat hati Kiara panas.

Hadi menggeleng pelan. "Kamu nggak usah denger omongan nggak jelas gitu, ya?! Apapun yang akan dilakukan Laila, nggak akan pernah bisa membuat aku berpaling dari kamu," kata Hadi sambil menatap Kiara dengan sungguh-sungguh.

Kiara mengangguk paham. Salah satu kunci pernikahan agar awet adalah: saling percaya. Ya, Kiara harus seratus persen percaya pada Hadi.

Hadi mengusap tangan Kiara yang ada di atas meja. "Boleh kita mulai sarapan? Nasi goreng kamu udah menggoda iman," kata Hadi sambil tersenyum manis.

"Tentu saya boleh, Ombe. Sekali-kali layani makanku, dong!" Kiara menyodorkan dua buah piring kosong ke hadapan Hadi.

Dengan senang hati, Hadi memasukkan nasi ke dalam piring istrinya. Ya masa suami maunya dilayani, tapi tidak pernah mau gantian melayani?

"Silahkan, Istriku," kata Hadi sambil menyodorkan piring yang berisi nasi goreng kepada Kiara.

"Makasih, Suami," jawab Kiara sambil tersenyum manis.

Sepasang suami istri itu lalu sarapan bersama. Sepanjang makan mereka jarang bicara. Bukan, bukan karena mereka sedang musuhan. Hanya saja, saat makan memang adabnya tidak boleh bicara, bukan?

Setelah selesai makan, Hadi lalu bersiap-siap untuk ke kebun sawit miliknya. Hari ini akan ada pemanenan.

Setelah Hadi pergi ke kebun, Kiara menjadi sendirian saja di rumah. Perempuan delapan belas tahun itu menjadi bosan. Di rumah saja dan sendirian saja, sungguh bukan suatu hal yang Kiara suka.

Tapi Kiara tak berniat pergi kemana-mana. Hari ini ia memutuskan untuk di rumah saja sambil menanam cabai di pekarangan rumah. Lumayan, bisa menghemat pengeluaran.

🌿🌿🌿

"Sayang," panggil Hadi sambil mendekati Kiara yang sedang membaca sebuah komik di atas kasur.

"Ya?" jawab Kiara sambil menoleh ke arah suaminya itu.

"Aku udah transfer ke rekening kamu," kata Hadi seraya duduk di sebelah istrinya.

"Tapi ini kan belum waktunya? Masih dua minggu lagi," kata Kiara dengan bingung. Ya, biasanya Hadi akan memberikan uang kepada Kiara setiap satu bulan sekali.

"Aku salah. Aku putusin ngasih uang setiap dua minggu sekali. Nimbang sawitnya kan setiap dua minggu sekali."

Kiara mengangguk paham. Terserah bagaimana maunya suami saja, deh. Kiara nurut saja.

Kiara lalu iseng mengecek ponselnya. Ia membuka M-banking. Betapa terkejutnya Kiara saat mengetahui angka yang tak biasa di rekeningnya. "Ini banyak banget. Nggak biasanya segini," gumam Kiara nyaris tanpa suara. "Dua puluh juta?"

"Iya, semua uang hasil panen sawit aku kirim ke kamu. Aku hanya potong untuk Ibu. Sisanya aku transfer semua ke kamu."

Kiara menatap Hadi dengan bingung.

Hadi tersenyum sambil mengangguk. "Ya, mulai sekarang kamu yang jadi manajemen keuangan. Kamu juga yang belanja keperluan rumah. Setuju?"

Kiara mengangguk patuh. Memang, selama ini selalu Hadi yang belanja untuk keperluan isi rumah. Seperti kebutuhan dapur, kebutuhan mandi, pokonya semua keperluan rumah.

Selama ini Kiara hanya diberi uang lima juta bersih. Uang skincare dan telekomunikasi, Hadi memberinya cash diluar lima juta tersebut.

"Aku punya investasi reksadana. Nantinya uang itu untuk pergi haji kita. Aku udah nabung selama enam bulan. Itu nanti mau Aku bayar pake uang dari rumah produksi aja," beritahu Hadi dengan nada rendah.

Lagi-lagi Kiara hanya mengangguk saja. Ia bingung harus bagaimana.

Terpaksa Menikahi Om-om (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang