29A

675 37 0
                                    

"Bu ... tolonglah Ibu sedikit dewasa. Pertengkaran ini sudah sampai ke telinga tetangga, loh. Nggak en ...."

Belum selesai Kiara berbicara, Desi sudah memotongnya. "Kamu ini tau apa, Ki! Sudahlah, mending kamu urus aja rumah tanggamu yang masih bau kencur itu." Desi mengibaskan tangannya di udara seraya mengganti saluran televisi karena saluran yang tadi sedang menayangkan iklan.

"Bu," panggil Kiara dengan nada rendah.

"Sudahlah, Ki. Kamu itu harusnya terimakasih sama Ibu. Biar bagaimanapun juga, kamu dinikahi Hadi itu ada campur tangan Ibu juga," ujar Desi dengan sombongnya. Ia merasa perannya sangat besar dalam menyatukan hubungan Kiara dan Hadi.

Hadi bingung harus bicara seperti apa. Takutnya nanti kalau ia bicara malah salah. Akhirnya ia memilih diam saja. Sejak awal ia menikahi Kiara, ia sudah tahu sifat mertuanya. Jadi sekarang ia sudah tidak terlalu kaget lagi.

Ya, mereka kan tinggal di satu kampung yang sama. Ruang lingkup kampung cenderung lebih terbuka sehingga mereka bisa tahu sifat satu sama lain dengan mudah.

"Ki ... mungkin Ibu cuma butuh waktu untuk sendiri. Kita pulang dulu, yuk. Besok pagi kita ke sini lagi," saran Hadi setelah ia diam cukup lama.

"Ya ... bagus itu. Memang seharusnya kalian pulang, ini sudah malam. Lagipula kenapa kalian bulan madu cuma tiga hari. Ngabis-ngabisin ongkos aja. Kalau sejak awal nggak suka ke Bali, ya harusnya jangan ke Bali. Cari tempat lain. Korea, misalnya," omel Desi tanpa menoleh ke arah keduanya.

Desi menyayangkan anak dan menantunya yang hanya buang-buang ongkos. Ia memang tahu Hadi itu kaya, tapi apa harus buang-buang ongkos begitu? Daripada uangnya dipakai tidak jelas begitu, kan lebih baik dikasih dia saja. Biar dia yang terbang ke Bali.

"Mana oleh-oleh untuk Ibu, Di?" tanya Desi dengan sinis. Ia merasa anak dan menantunya ini pelit, pulang jalan-jalan tapi tidak membawa oleh-oleh.

"Kami nggak sempat belanja, Bu. Tadi pulang terlalu buru-buru," sahut Kiara. Kiara langsung menyahut saat Hadi baru saja akan membuka mulut. Ia takut suaminya akan salah bicara dan akan memicu kemarahan ibunya.

"Sudahlah sana kalian pulang. Rumah kalian bukan di sini. Ibu nggak butuh anak pelit," usir Desi dengan nada tinggi.

Kiara hendak membuka mulutnya, tapi Hadi langsung mengajaknya untuk pulang. Hadi hanya tidak mau keberadaan mereka di sana akan memicu kemarahan ibu mertuanya lebih dari ini.

"Kami pulang, Bu," pamit Hadi sambil menjulurkan tangannya untuk menerima uluran tangan ibu mertuanya, ia ingin salaman.

Desi bukannya menerima uluran tangan tersebut, tetapi ia malah mengibaskan tangannya ke udara. "Udah sana sana kalau mau pulang," usirnya dengan tidak ramah.

"Kami pulang, Bu. Assalamualaikum," pamit Kiara dan tidak disahuti oleh Desi.

Kiara dan Hadi pergi dari rumah Desi dengan perasaan tak menentu. Terutama Kiara, ia sangat kecewa pada ibunya yang kekanak-kanakan.

Awalnya ia menyangka pertengkaran orangtunya seperti yang sebelum-sebelumnya, mudah untuk diselesaikan. Tapi setelah ia bertemu dengan ibunya barusan, ia merasakan ada yang tidak beres. Ini bukan pertengkaran seperti biasanya yang mudah untuk didamaikan.

Entah mengapa semakin hari ibunya semakin menyebalkan. Tidak peka sama sekali. Jelas-jelas ia pulang lebih awal karena mengkhawatirkan keadaan rumah tangga orangtunya, tapi sang ibu justru malah tidak sadar itu.

Terpaksa Menikahi Om-om (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang