39A

664 27 0
                                    

Kiara duduk termenung di sofa ruang tamu. Rumah tersebut walaupun berada di tengah kota, tapi terasa sunyi. Ya, sejak Kiara tanpa sengaja membuat Desi overdosis, Hadi membawa Kiara tinggal di kota Muara Bulian. Mereka menyewa sebuah rumah di kota kecamatan.

Pasalnya sejak kejadian tersebut, semua orang mencibir Kiara. Ada yang secara sembunyi-sembunyi mengatai di belakang, ada juga yang mengatai langsung secara terang-terangan.

Desi sendiri masih marah kepada Kiara dan Hadi. Anton menjadi irit bicara dan dingin pada anak dan menantunya, sedangkan Nani berkali-kali mengungkapkan kekecewaannya secara terang-terangan di depan Kiara dan Hadi.

Tentu saja hal itu membuat Kiara depresi. Ia sering menangis tanpa sebab, kehilangan nafsu makan, juga menjadi sangat murung.

Kiara dan Hadi sudah tiga hari tinggal di rumah baru. Tepatnya, ini sudah satu Minggu sejak kejadian tersebut.

Sedangkan rumah mereka di kampung, masih ditempati oleh Anton. Karena hingga saat ini antara Desi dan Anton masih belum berdamai. Desi masih berburuk sangka Anton yang memiliki ide gila tersebut. Padahal nyatanya Anton sendiri tidak tahu menahu soal itu.

"Sayang, aku berangkat kerja dulu, ya. Kalau ada apa-apa hubungi aku," pamit Hadi.

Kiara hanya mengangguk pelan. Ia menatap suaminya dengan tatapan kosong.

Melihat kondisi istrinya, Hadi menjadi tidak tega untuk meninggalkan istrinya sendirian di rumah. Bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada Kiara? Misalnya saja Kiara nekat mencelakai diri sendiri karena saking depresinya.

"Aku ... nggak jadi pergi," ujar Hadi dengan nada rendah.

"Kenapa? Aku nggak papa, kok. Kamu nggak usah khawatir," sahut Kiara dengan suara lemah.

Hadi duduk di sebelah istrinya, ia lalu memeluk istrinya erat. "Kerjaanku nggak terlalu penting kok. Kalaupun aku nggak dateng, nggak apa-apa," ujarnya lirih.

Kiara membenamkan kepalanya di dada bidang suaminya, ia menikmati suara jantung suaminya yang berdetak normal. Rasanya menenangkan.

"Aku pingin minta maaf sama Ibu dan Bapak. Tapi aku takut," lirih Kiara.

Kemarin, Hadi sudah mendatang bapak dan ibu mertuanya untuk meminta maaf. Tapi agaknya ibu mertuanya belum bisa memaafkan dia dan Kiara, ibu mertuanya mengusir dirinya begitu ia baru mengeluarkan kata maaf. Sedangkan bapak mertuanya, tidak banyak bicara. Beliau hanya mengatakan Hadi dan Kiara harus meminta maaf pada Desi, bukan pada dirinya, karena dalam hal ini Desi lah yang menjadi korban.

"Aku nggak mau jadi anak durhaka." Kiara mulai menangis di pelukan Hadi. Punggungnya sampai bergetar karena tangisnya.

"Kamu sudah siap ketemu Ibu Bapak?" tanya Hadi dengan nada rendah.

Kalau memang Kiara sudah siap, alangkah lebih baik kalau ia dan Kiara datang menemui orang tua Kiara untuk meminta maaf. Hadi yakin, semarah-marahnya orang tua kepada anak, pasti akan luluh kalau anaknya sudah meminta maaf dengan sungguh-sungguh.

"Kalau kamu sudah siap ketemu Ibu Bapak, kita bisa pergi minta maaf sekarang. Semakin cepat lebih baik," lanjut Hadi.

Kiara mengangguk di dalam pelukan Hadi. Ia lalu mengangkat kepalanya dan menghapus air matanya menggunakan punggung tangan. "Kita pergi sekarang. Mumpung masih pagi. Kalau pagi orang-orang masih sibuk di kebun, jadi mereka nggak akan nguping kita," ujarnya dengan mantap.

"Ya udah, ayo kita siap-siap," ajak Hadi dan di-angguki oleh Kiara.

Kiara sudah mantap ingin bertemu ayah dan ibunya. Kalaupun nanti ia diusir atau apapun itu, ia sudah siap. Memang kelakuannya sudah sangat keterlaluan, sehingga ia tidak layak mendapatkan maaf dengan mudah.

🌿🌿🌿

Terpaksa Menikahi Om-om (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang