28A

673 38 1
                                    

Sesampainya di bandara STS Jambi, sudah ada suami Lisa yang menjemput di sana. Perjalanan dari kota Jambi ke kampung, rasanya jauh sekali.

Di dalam perjalanan, Kiara tak banyak bicara. Perempuan itu mengetuk-ngetukan jarinya di paha sambil melihat ke luar jendela.

"Kok macet? Ada apa ini?" Hadi bertanya lebih ke dirinya sendiri saat mobil mereka terjebak kemacetan.

"Nggak tau," jawab Midi, kakak ipar Hadi. Laki-laki yang mengendarai mobil itu melirik adik iparnya melalui spion tengah. "Tadi waktu Mas lewat sini nggak ada macet sama sekali," lanjutnya.

Kiara yang memang sudah sangat tidak sabar untuk sampai ke rumah, menjadi kesal sendiri. Ia kesal pada siapapun itu yang menciptakan kemacetan.

Hadi yang duduk di sebelah Kiara, mengusap puncak kepala istrinya dengan sayang. Ia yang tahu istrinya tengah panik, mencoba untuk menenangkannya.

"Sabar, ya, Sayang. Kamu yang tenang," ujarnya dengan nada rendah.

Kiara tak menyahut. Sedari tadi perempuan itu lebih banyak diam. Ia menatap ke luar jendela sambil menyembunyikan emosi yang sudah sampai ubun-ubun.

Jalan yang mereka lalui adalah jalan lintas antar provinsi. Segala macam kendaraan bebas untuk lewat. Ah ... andaikan saja di Jambi ada jalan tol alias jalan bebas hambatan. Pasti sekarang ini mereka tidak akan terjebak macet seperti ini.

Midi membuka kaca jendelanya untuk bertanya dengan kenek fuso yang baru saja melihat keadaan di depan sana. "Ada apa, Bang?" tanyanya pada kenek tersebut.

"Kecelakaan, Bang. Mobil truk sama mobil tangki minyak tabrakan di tikungan depan. Untung aja mobil tangkinya sedang dalam keadaan kosong. Sekarang dua mobil itu memblokir jalan," beritahu kenek tersebut sambil berlalu menuju mobilnya yang terparkir tepat di belakang mereka.

Deg!

Jantung Kiara seperti berhenti berdetak saat ia mendengar kata kecelakaan. Ah, ia memang jahat sekali, memaki-maki orang pembuat kemacetan. Padahal orang tersebut justru tidak ingin kemacetan tersebut terjadi.

"Kayaknya kita bakal lama," gumam Midi tapi masih dapat di dengar oleh Kiara dan Hadi.

Mereka bertiga hanya bisa pasrah saja dan menunggu kedua mobil kecelakaan tersebut disingkirkan. Habisnya mereka tidak punya pilihan lain, karena ini adalah jalan satu-satunya menuju rumah mereka.

"Kenzo tau masalah ini?" tanya Hadi dengan nada rendah.

Kiara menggelang. "Nggak tau. Tapi kalau bisa jangan sampai bocah itu tau. Kasihan dia. Dia harus fokus belajar, sebentar lagi ujian," jawabnya masih dengan melihat ke luar jendela.

Midi yang merasa bosan, keluar dari mobil dan berbincang-bincang dengan supir dan kenek-kenek yang juga berada di luar mobil.

Setelah menunggu selama setengah jam, barulah kemacetan tersebut berkahir. Kiara langsung menghembuskan nafas lega. Sepanjang jalan menuju rumah, ia menyiapkan kata-kata yang nantinya akan ia ucapkan di hadapan ayah dan ibunya.

Ponsel Kiara bergetar. Ada pesan masuk dari Sita, tetangganya yang tadi mengabarinya tentang keadaan ayah dan ibunya.

Kiara, Bapakmu tadi didatangi ibumu di rumah produksi Bang Hadi. Bapakmu disiram satu liter air sama ibumu entah apa gara-garanya.

Kiara meremas ujung bajunya untuk menenangkan diri. Apa lagi ini? Mengapa ibunya sangat keterlaluan? Bahkan sekarang ibunya berani melakukan kekerasan fisik.

Mungkin karena pendidikan ibunya yang rendah, sehingga beliau tidak tahu tentang KDRT. Bahwasanya KDRT itu bukan hanya perlakuan kasar laki-laki ke perempuan. Tapi bisa juga dari perempuan ke laki-laki.

🌿🌿🌿

Terpaksa Menikahi Om-om (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang