"Denyut nadinya sudah tidak ada."
"Dia sudah mati, entah sejak kapan. Namun, tubuhnya membiru."
Laki-laki itu terbaring tak bernyawa di atas lantai keramik kamarnya. Tak ada yang menduga kematiannya, tak satu pun mengerti kenapa.
Setidaknya ada empat orang anggota keluarga yang menemukan jenazah itu. Sampai dua orang petugas ambulans datang, tak ada satu pun warga yang diizinkan masuk, meskipun mereka sudah berkerumun di depan rumah sejak mendengar teriakan histeris salah satu anggota keluarga tersebut.
Pagi itu rasanya kelabu. Oksigen seolah menghilang untuk beberapa detik saat kedua petugas mengangkat tubuh kurus laki-laki itu ke atas tandu dan berjalan melewati pintu kamar. Lalu semuanya menjadi gelap, sangat gelap hingga keringat mengucur ke seluruh tubuhku.
Kedua mataku terbuka, dan menyadari kalau aku telah berpindah ke dimensi lain yang disebut dengan kenyataan. Aku menyebutnya berpindah, karena aku tak pernah benar-benar keluar dari dimensi mimpi buruk itu. Tak akan pernah, mungkin seumur hidup. Karena kehilangan salah satu anggota keluarga yang sangat disayangi, terbukti menimbulkan kelinglungan untuk jangka waktu yang panjang. Terlebih, kepergiannya dengan cara yang bisa dibilang tidak baik dan menimbulkan banyak pertanyaan.
"Pemirsa, diduga karena overdosis, seorang artis berinisial AR ditemukan tewas di apartemen-nya. Polisi mengaku menemukan beberapa obat-obatan terlarang di sekitar korban dan akan mendalami kembali kasus ini."
Televisi itu masih menyala, tentu saja. Tinggal sendirian di dalam indekos sederhana membuatku terkadang sangat kesepian, dan menyalakan televisi sampai aku ketiduran, adalah hal yang biasaku lakukan jika sedang ada di fase-fase kritis - secara mental. Mungkin tak seburuk kedengarannya, karena aku tak perlu mengonsumsi obat penenang. Aku hanya overthinking.
Berita di televisi masih menejelaskan tentang artis yang ditemukan meninggal itu. Mungkin karena popularitasnya menurun, dia memilih untuk menenangkan diri dengan mengonsumsi obat-obat itu. Namun, menurut pendapat pribadiku, seseorang tak selalu perlu mengalami titik terendahnya dulu untuk mencoba obat-obatan terlarang itu. Karena aku mengenal seseorang yang sangat sempurna kehidupannya, dan tetap saja mati konyol karena obat-obatan itu. Tak perlu menyangkal dengan kalimat kita tak pernah tahu penderitaan apa yang terjadi dibalik kesempurnaan yang terlihat, karena aku mengenalnya jauh lebih dekat dibanding mereka. Dan aku masih marah dengan kenyataan itu.
Orang itu adalah pemeran utama yang selalu hadir di dalam mimpi burukku. Rama, dia kakak laki-laki ku yang meninggal 5 tahun lalu. Saat itu, jenazahnya sama sekali tak bisa ku kenali lagi. Bukan karena rusak atau penuh luka bakar, tetapi tubuhnya sangat kurus, pucat, dan membiru. Dia hanya mengurung dirinya seharian penuh di kamarnya lalu ditemukan tak bernyawa.
Artika, jangan lupa. Satu jam lagi. Alamatnya sudah saya kirim.
Aku membalas pesan itu dengan jawaban singkat, Ya. Orang bernama Viko itu memang manusia paling cerewet dan tak sabaran. Meskipun begitu, aku harus mendatanginya hari ini untuk bekerja sama. Belakangan ini, belum ada yang meminta jasaku lagi untuk menulis. Maka, ketika ada orang asing memintaku untuk membantunya menulis, tentu saja aku segera mengiyakan.
Setelah bersiap-siap selama 30 menit, akhirnya aku melangkahkan kakiku keluar dari indekos murah ini. Seingatku, sudah hampir dua minggu aku tidak keluar bepergian jauh kecuali ke warung kecil di seberang indekos untuk membeli makan.
Indekos yang ku tinggali berada di sebuah perkampungan kecil di tengah Kota Jakarta, dan kamarku terletak di lantai dua, paling ujung. Indekos putri ini dikelilingi oleh rumah-rumah warga sehingga cukup membuat orang sepertiku kesulitan berkonsentrasi menulis. Pagi diganggu oleh suara musik dangdut melalui speaker, siang biasanya berisik suara anak-anak kecil yang berlarian mengejar layangan, dan menjelang malam, suara gitar serta obrolan sekelompok pemuda yang bermain kartu.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Mystery / ThrillerArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...