09. MAWAR MATI

13 6 0
                                    

Arjuna benar-benar mencurigai Viko. Kini, sudah jelas apa yang hendak dia jelaskan padaku mengenai kecurigaannya pada Viko, juga pada Red Rose.

Saat ini aku masih berada di kantor Arjuna, duduk di ruangannya sambil mencerna semua data yang dia berikan kepadaku. Seperti seorang sales yang sedang meyakinkan pembelinya, Arjuna begitu tanggap menjelaskan padaku.

"Bagaimana caranya kita membuktikan bukan saya yang bersalah, melainkan Viko?"

"Kita harus menyelidiki kematian Red Rose, mencari bukti, dan mengumpulkannya. Dan untuk melakukan itu, saya perlu kamu untuk membantu saya," jawab Arjuna menatapku dengan yakin. Seolah-olah dia tahu kalau aku akan setuju dengan segala rencananya.

"Jadi, kamu menginginkan saya untuk menjadi mata-mata dan menyelidiki Viko juga kematian Red Rose?" tanyaku menyimpulkan.

Arjuna menjentikkan jari dengan bersemangat. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam laci mejanya, lalu dia menaruhnya di hadapanku. Sebuah ponsel pintar yang terlihat masih disegel.

"Saya akan menyelidiki siapa laki-laki yang mengikuti kamu, dan apa hubungannya dengan Red Rose," ujar Arjuna merujuk pada laki-laki yang baru saja dikabarkan tewas karena tabrak lari yang terjadi semalam.

"Sementara itu, kamu datanglah ke Perumahan Greenwood, bersikap biasa saja selayaknya Red Rose. Lalu, diam-diam dan sangat hati-hati kamu periksa kamarnya. Atau apapun keanehan yang kamu temukan di rumah itu. Jangan lupa untuk memerhatikan jadwal Viko saat ada di rumah dan tidak."

"Bisakah kamu menuliskan saja semua perintah itu?" sindirku menanggapi ocehan Arjuna mengenai 'tugas' pertamaku. Ya Tuhan, berat sekali pekerjaanku kali ini. Menjalankan tugas sebagai penulis bernama Red Rose, menjalankan tugas Arjuna, belum lagi jika Viko memintanya untuk menghadiri jumpa penggemar lagi.

"Saya yakin kemampuan mengingat seorang penulis lebih baik," balas Arjuna.

Aku melirik jam dinding di ruangan ini yang menunjukkan pukul 09:10 WIB. Karena barang-barang di rumah juga sudah dipindahkan, jadi aku memutuskan untuk pergi ke Perumahan Greenwood langsung dari kantor ini menggunakan ojek online.

Selama di perjalanan menggunakan motor, aku masih berpikir mengapa aku begitu mempercayai Arjuna. Apa karena semua penjelasannya masuk akal? Atau dia juga merupakan seorang wartawan?

Seandainya saja sejak awal aku tidak menerima tawaran dari Viko untuk menjadi penulis bayangan Red Rose, mungkin aku masih berada di dalam indekosku yang murah. Dengan risiko, hutangku yang menumpuk.

Aku sampai di depan rumah Red Rose pukul 09:50 WIB. Dan seperti biasa, aku menekan tombol bel yang menempel di dinding. Menunggu cukup lama, aku mengeluarkan ponselku hendak menelepon Viko.

Sebenarnya, aku bisa saja masuk sendiri melewati pagar. Mereka tak mengunci pagar ini dengan gembok. Namun, aku tak ingin bersikap sembarangan. Bisa-bisa mereka akan mengancam ku dengan pasal lain. Itu hanya sarkas, seandainya saja aku bisa mengutarakannya langsung pada Viko.

"Ya?" tanya Viko begitu mengangkat panggilan teleponku.

"Saya sudah di depan."

"Masuk saja, gerbangnya tidak dikunci," jawab Viko singkat, lalu mengakhiri sambungan teleponnya.

Aku menggeser slot pagar, lalu membukanya lebar-lebar. Kemudian, aku melangkah masuk sendirian. Pagi ini aku baru menyadari ada beberapa tanaman yang mengering. Sebenarnya, tanaman-tanaman hias yang ada di halaman rumah ini sudah kelihatan kering sejak pertama kali aku datang ke sini. Namun, hari ini kelihatan jauh lebih kering bahkan beberapa rusak.

Meski bukan pecinta tanaman hias, aku tahu belakangan ini orang-orang sangat senang membicarakan tanaman hias, terutama Janda Bolong. Orang-orang beramai-ramai mengoleksi tanaman dengan berbagai bentuk dan harga yang tidak main-main mahalnya. Satu tanaman saja setara dengan harga ponsel pintar keluaran terbaru. Untuk sekelas Red Rose, sangat memungkinkan untuk membeli semua tanaman hias ini.

IDENTITY [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang