Viko masih tergeletak di lantai, tidurnya terlihat nyenyak sekali sampai tidak bergeming meski telahku tendang beberapa kali.
Lihatlah si bodoh yang selalu memanfaatkan orang-orang yang sedang di ujung tanduk ini, terlihat lemah. Tentu aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk menggerayangi tubuhnya mencari kunci.
Tidak ada di saku jaket, tidak ada di saku celana depan. Aku membalik tubuh tinggi besar ini dengan sedikit tenaga extra. Hingga, aku menemukan sebuah gantungan yang mengaitkan beberapa kunci.
Suara pintu terbuka, menandakan Arjuna telah masuk. Aku kembali membalik tubuh Viko ke posisi semula, lalu berjalan di tengah kegelapan membuka pintu.
Pintu tertutup kembali, langkah kaki itu perlahan menaiki tangga. Sosok laki-laki itu memakai jaket, topi, dan masih terselimuti tudung yang menyambung di jaketnya. Aku sedikit trauma melihat penampilan seperti ini, sehingga aku melangkah mundur dan berdiri tepat di ambang pintu.
"Ayam goreng."
Itulah kata kuncinya. Arjuna mengatakannya dengan sangat tepat, sehingga aku segera memberikan kunci padanya.
Dia bergegas ke arah pintu kamar Red Rose, sementara aku mengawasi keadaan. Ada beberapa jenis kamera pengintai, ada yang hanya menggunakan daya listrik, ada juga yang menggunakan listrik dan baterai. Kebanyakan kamera pengintai menggunakan tenaga listrik, tetapi perkembangan menyempurnakan kamera ini dengan tambahan UPS atau sejenis baterai yang akan menyala saat listrik mati. Untungnya, kamera pengintai di rumah ini hampir semuanya, hanya kamera yang menggunakan tenaga listrik, sehingga Arjuna memberikan ide ini - memadamkan aliran listrik di seluruh rumah.
Ada satu alasan yang membuatku yakin mengapa Viko menggunakan kamera pengintai biasa. Karena tujuan mereka bukanlah pencuri, melainkan untuk mengawasiku, dan mungkin juga Red Rose.
Akhirnya Arjuna berhasil mendapatkan kunci kamar Red Rose. Dia bergegas masuk, aku pun menyusulnya. Dengan lampu senter dari ponsel, kami bergegas mencari sesuatu di dalam kamar ini.
"Bagaimana menurutmu? Apa ada yang berubah?" tanya Arjuna, memastikan apakah ada yang masuk ke dalam kamar ini setelah kejadian meninggalnya Red Rose. Aku memerhatikan kamar ini dengan cahaya dari senter, berusaha mengingat.
"Tentu ada," jawabku melangkahkan kaki ke arah meja pajangan, aku berdiri di antara tempat tidur dan meja pajangan, tempat Red Rose terjatuh dengan kondisi kejang.
"Dia ada di sana saat itu," ujar Arjuna.
"Sebelumnya, aku melihat Red Rose berbaring di tempat tidurnya. Lalu, Viko menutup pintu rapat, dia bilang Red Rose tidak ingin diganggu siapa pun," jawabku sementara Arjuna memotret beberapa bagian yang menurutnya penting.
"Lalu, dia ditemukan di atas lantai. Sepertinya, dia sedang berusaha meraih sesuatu di atas meja," ucap Arjuna membuatku yakin bahwa ada yang berbeda dengan tempat ini.
"Saat itu, di atas meja ini hanya ada beberapa botol air mineral. Tidak ada vas bunga atau jam pasir."
Arjuna mengerutkan keningnya heran. Sepertinya dia menyadari sesuatu yang juga baru aku sadari. Mungkinkah Red Rose bermaksud mengambil air mineral dan terjatuh.
Arjuna tak menyahut apapun. Dia melanjutkan aksinya menelusuri kamar ini. Suara dering ponselku berbunyi dari ruangan menulis. Aku bergegas ke sana sementara Arjuna juga mempercepat penelusurannya.
Oh tidak! Tio yang meneleponku. Baiklah, aku harus tenang sesuai rencana sebelumnya. Tio pasti sudah mencoba menghubungi Viko, tetapi tak diangkat. Jadi dia menghubungiku.
"Ya?" tanyaku begitu mengangkat panggilan telepon ini.
"Apa Viko baik-baik saja? Aku dengar tadi dia ingin menemui mu."
"Ya, Viko memang ada di sini."
"Apa sedang terjadi pemadaman listrik? tetapi mengapa hanya di rumah kalian?" tanya Tio membuat jantungku mencelos ke bawah. Dia pasti ada di sekitar perumahan ini.
"Itu masalahnya, saya juga gak mengerti. Viko tiba-tiba tak sadarkan diri, listrik padam, saya tak tahu ada apa. Dan sekarang, saya sedang bersembunyi di kamar." Aku berusaha membuat suaraku terdengar panik. Langkahku berjalan pelan melongok ke arah kamar Red Rose, aku mengisyaratkan pada Arjuna untuk menghentikan aktivitasnya.
"Gawat, Tika! Kamu tenang saja, aku akan segera ke sana. Tidak perlu panik. Apa kamu sudah mengunci semua pintu?" tanya Tio.
"Aku belum memastikan, aku begitu takut sehingga aku kabur ke kamar."
"Baiklah, tunggu di sana aku akan segera datang," jawab Tio, lalu mengakhiri sambungan teleponnya.
Arjuna segera menutup pintu kamar Red Rose. Sementara aku pergi ke ruang kerjaku. Aku membuang kopi bekas yang diminum Viko ke kamar mandi, lalu mengeluarkan satu kopi lagi. Menuangkan isinya setengah ke dalam gelas bekas Viko.
Arjuna sudah mengembalikan kunci padaku, kemudian dia bergegas keluar rumah membawa sesuatu yang tak ku ketahui. Aku harap, dia membawa barang yang tak akan mereka cari dalam waktu dekat.
Ketika aku berlari ke kamarku, suara pagar terbuka. Aku yakin, Tio sudah masuk ke rumah. Dia berjalan mendekati kamarku lalu mengetuknya.
"Tika!"
Aku bergegas membuka pintu, semoga wajahku terlihat benar-benar panik.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Tio dengan cepat.
Aku mengangguk, lalu mengisyaratkan pada Tio untuk melihat kondisi Viko di ruang menulis. Dia melompat ke arah Viko dan berusaha membangunkannya.
"Aku akan memeriksa sekering listrik rumah ini. Kamu tetaplah di sini," ucap Tio, sementara aku menganggukkan kepala. Namun, sebelum dia keluar, tiba-tiba dia berbalik menatapku dengan pandangan mata penuh selidik.
"Oh, ya. Apa kamu yakin, tidak ada yang masuk ke rumah ini sebelumnya? Begitu saya masuk, pagar rumah tidak dikunci," tanya Tio seketika membuat aliran darahku terasa berhenti. Sepertinya, dia menaruh kecurigaan padaku lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Mystery / ThrillerArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...