Rama bekerja di perusahaan yang mengelola sebuah gedung kesenian Eropa. Seingatku, saat itu Rama baru saja lulus kuliah, lalu perusahaan itu segera menarik Rama untuk bergabung. Rama memang memiliki kemampuan yang tinggi di bidangnya mengelola bisnis. Aku masih ingat juga, baru beberapa bulan bekerja, Rama diangkat menjadi manager. Hingga akhirnya, dia akan dimutasi ke luar negeri.
Aku menatap layar monitor laptop. Aku tak bisa menulis apapun hari ini, pikiranku penuh. Hatiku bimbang, bagaimana aku harus menghadapi ini. Aku masih mengingat, data korban-korban Viko selain artis. Memang seluas itu jaringan perdagangan obat-obatan terlarang.
Tanganku beralih pada ponsel pintar berwarna hitam ini. Ponsel yang benar-benar diberikan oleh Arjuna padaku, meskipun aku berhenti bekerja sama dengannya. Akan tetetapi, kami sudah memiliki rencana jika aku berubah pikiran.
Aku membenci fakta bahwa kemungkinan besar Viko adalah orang yang menjebak kakakku. Pantas saja, dia tidak pernah terlihat ke rumah, karena sebenarnya Viko adalah musuh dalam selimut bagi Rama.
"Tika!"
Suara panggilan itu selalu memekakkan telingaku. Viko sudah kembali pulang. Hari ini dia hampir seharian tidak datang ke rumah. Dia pasti ingin menagihku karena aku belum melaporkan bab baru yang seharusnya sudah terbit pukul 19.00 WIB tadi. Dia pasti tahu, aku belum menerbitkan apapun di platform tersebut.
Langkah kakinya mulai terdengar kasar menaiki tangga. Aku menggenggam ponsel dari Arjuna, dengan tenang menaruh jariku di layar.
Dia di sini. Cepatlah, saya lapar.
Aku memilih untuk berubah pikiran dan menjalankan rencana dengan Arjuna. Balasan darinya sangat cepat, sebelum Viko membuka pintu dengan tergesa.
"Artika!"
Aku menoleh ke arah Viko dengan tenang. Namun dia menghampiriku dengan marah. Sejujurnya, jika ini terjadi kemarin, aku pasti akan ketakutan setengah mati melihatnya marah. Akan tetetapi, setelah mengetahui dialah yang telah menghancurkan kakakku, keberanianku meningkat. Bahkan, jika aku harus mati saat baku hantam dengannya, aku tak peduli.
"Apa kamu sudah tidak waras? Saya katakan padamu, terbitkan satu bab setiap hari!" Viko memukul mejaku dengan keras hingga meja kayu ini tergeser sedikit maju ke arahku.
"Saya akan terbitkan malam ini," jawabku dengan lugas.
"Jangan membuat saya marah, Tika. Atau saya akan mematahkan tanganmu."
"Saya akan terbitkan satu bab, tetetapi saya perlu makan. Hampir seharian ini saya belum sempat makan," jawabku berbohong.
"Jangan pikir saya gak tahu kamu tadi pagi keluar ya, Tika," ujar Viko. Tentu saja itu akan dikatakannya, dia mengendalikan kamera pengintai.
"Saya keluar untuk menemui teman."
Suara Viko tenggelam oleh bunyi bel rumah. Dia langsung melempar pandangan ke arahku dengan raut wajah yang seolah penasaran.
"Sepertinya pesanan makanan online," jawabku beranjak dari kursi dan melangkahkan kaki berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Sebuah motor beat warna merah terparkir di depan pagar. Arjuna memakai jaket bomber, kacamata dan masker. Helm yang dipakainya berwarna hijau dengan logo salah satu aplikasi pesan - antar.
Tanpa mengatakan apapun, dia memberikan bungkusan plastik itu kepadaku. Aku bergegas masuk, lalu berjalan menuju ruang menulis lagi.
"Saya mendapatkan promo beli satu gratis satu item. Apa kamu mau?" tanyaku menawarkan sambil mengeluarkan paket ayam goreng beserta kopi.
"Tidak," jawab Viko acuh.
Aku bergegas menahannya dan memberikan es kopi yang dibungkus dengan gelas berbahan plastik ini.
"Saya minta maaf karena terlambat menerbitkan bab baru," ujarku memberi alasan untuk kopi ini.
Viko menatapku dari atas sampai bawah, entah apa yang dia perhatikan. Namun, tak lama dia mengambil kopi yang kuberikan, lalu meminumnya dengan santai.
"Saya pikir, kamu akan cocok menjadi model majalah anak muda. Apa kita perlu membicarakan kerja sama lainnya?" tanya Viko tersenyum miring. Senyum yang membuatku refleks melangkah mundur menjauh darinya. Aku yakin Viko menyadari itu, makanya dia cepat-cepat kembali mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius. Dia berdeham sambil mengusap hidungnya.
"Bab baru harus terbit sebelum tengah malam!" ujar Viko memperingatiku.
"Aku ingin bertanya padamu tentang sesuatu, apa kau sedang terburu-buru?" tanyaku menahan Viko untuk kesekian kalinya. Sebelum menjawabku, Viko melirik jam tangannya, kemudian menghela napas panjang. Dia mengambil posisi duduk di sofa sambil meminum kopi yang ku berikan.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Apa kamu pernah bekerja di perusahaan Geustouve Company?" tanyaku yang memerhatikan perubahan raut wajahnya dari sisi meja tempatku berdiri. Ya, Viko terlihat agak terkejut mendengar aku menyebut nama perusahaan itu.
"Ya. Sudah beberapa tahun lalu." Viko menyenderkan kepalanya ke tangan. Beberapa kali, dia menggelengkan kepalanya.
"Saya kenal seseorang yang bekerja di sana. Apa kamu mengenal Rama Aditya?"
"Hey!" Viko menyentakku, dia berdiri dengan raut wajah marah. Sementara aku hanya diam karena terlalu terkejut.
"Ada apa?" tanyaku.
"Apa kamu menaruh sesuatu di minuman saya? Hah?"
"Tidak. Bagaimana bisa?"
"Bohong!" Viko menarikku dengan kencang.
"Apa yang terjadi Viko? Sebaiknya saya meminta bantuan," ucapku bergegas meraih ponselku.
Sekarang!
"Lalu siapa yang menaruh obat tidur di minumanku?!" teriak Viko menarik tanganku dengan keras. Sebelum aku menjawabnya, tiba-tiba listrik di rumah padam. Viko semakin mengumpat, lalu dia terjatuh ke pelukanku tak sadarkan diri.
Aku mendorong Viko menjauh dariku hingga tubuhnya tergeletak di atas lantai. Kedua matanya sudah tertutup sempurna dan aku menatapnya ditengah kegelapan. Aku segera menutup jendela ruangan, tak mengizinkan sedikitpun cahaya bulan menyusup ke dalam ruangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Mystery / ThrillerArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...