Arjuna begitu penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Red Rose. Sayangnya, dia langsung kecewa ketika membaca bab-bab terakhir cerita yang diunggah Red Rose tidak secara eksplisit menjelaskan dari mana mafia itu berasal, siapa saja yang terlibat, dan siapa saja yang diincar.
"Tentu saja tidak eksplisit. Lagi pula ini novel! Kamu pikir apakah orang-orang peduli dengan semua pertanyaan itu? Mereka - termasuk Red Rose pun, pasti lebih tertarik dengan kisah percintaan antara tokoh utama dan mafia," tukasku tak sabar setelah mendengar celoteh Arjuna.
"Saya hanya mengungkap kegelisahan saya dalam buku ini, kenapa kamu berlebihan?"
"Astaga, apa kita akan cocok bekerja sama jika berdebat terus?"
"Bukankah kamu yang memulai?" sindir Arjuna ketus. Sebenarnya aku ingin menimpali, kalau saja dia tidak asal mengomel dengan isi novel Red Rose dan juga pendapatku, mungkin aku juga tidak akan membalasnya dengan sedikit emosi.
"Saya rasa, ada beberapa bab yang dihapus oleh Viko. Saya akan berusaha memulihkan kembali bab yang pernah dihapus."
"Apa bisa?" tanya Arjuna.
"Seharusnya bisa. Saya biasa melakukan itu jika mereka menipu saya. Saya hapus bab yang saya tulis, dan mengembalikannya lagi ketika mereka sudah membayar," jawabku dengan yakin.
"Bagus," jawab Arjuna mengangguk puas. Kemudian, dia mengambil selembar kertas HVS dari dalam tasnya. Dia menulis beberapa poin dan semacam bagan, dan aku masih menerka-nerka apa yang sedang dia tulis.
"Oke, Tika. Kita tetap harus bisa membuka kamar Red Rose secepatnya. Di lantai 2, ada 3 kamar bukan?" tanya Arjuna. Ternyata, kotak-kotak yang digambarnya bukanlah bagan, melainkan denah rumah Red Rose.
"Ya. Sebenarnya, 3 ruangan, karena satu ruangan dipakai untuk saya menulis, bisa dibilang ruang kerja."
"Oke. Apa kamu mengingat isi kamar Red Rose? Kamu sempat membuka kamarnya pada hari kematiannya," tanya Arjuna menatapku penuh harap.
Aku terdiam, mencoba mengingat-ingat. Apa saja yang aku lihat di dalamnya?
"Saya tidak ingat jelas. Di kamarnya ada tempat tidur, meja, pajangan bunga ... Selebihnya saya gak memerhatikan, karena saya benar-benar kaget saat melihat Red Rose kejang," jawabku menyesal. Jangankan memerhatikan barang-barang di kamar Red Rose, untuk tetap dalam kesadaranku saja sulit.
Arjuna menulis semua yang aku sebutkan, lalu ia kembali terlihat berpikir. Sementara aku, mengedarkan pandangan ke sekitar ruang karaoke ini. Ini adalah pertama kalinya aku ke tempat karaoke. Ruangannya tak begitu besar, mungkin cukup untuk 4-5 orang. Ada sebuah televisi dan seperangkat alat karaoke. Di sini hening, memang terdengar sedikit suara dari luar, tetetapi kurasa setiap ruangan di sini kedap suara. Lampunya bisa diatur seperti remang-remang, warna-warni dan sebagainya. Tak ada jendela, hanya ada satu pintu.
"Hey, bagaimana kamar kamu dan ruang kerja? Apa memiliki bentuk dan fasilitas yang sama?" tanya Arjuna.
"Kalau diperhatikan, sepertinya mirip. Satu kamar mandi di dalam, atap tertutup, lalu jendela-"
"Seperti apa jendelanya? Apa terbuka? Atau ada teralis?" sergah Arjuna bersemangat.
Aku menghela napas panjang. Sepertinya aku tahu apa maksudnya Arjuna. Dia ingin menerobos masuk ke kamar Red Rose melalui jendela.
"Jendelanya memiliki teralis besi," jawabku lemah.
Arjuna mengerutkan keningnya. Sekarang, aku tak bisa menerka apa yang dipikirkannya. Seolah-olah, dia mengesampingkan rasa kecewanya dan memilih untuk mencari cara lain.
" Untuk saat ini, satu-satunya jalan masuk ke kamar Red Rose adalah menggunakan pintu utama. Dan kita perlu memiliki kuncinya." Arjuna kelihatan stres, tetetapi dia tak menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Misteri / ThrillerArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...