"Tika, cepat kemari! Kak Rama membawakan martabak kacang kesukaanmu!"
Aku bergegas beranjak dari atas tempat tidur, sedikit terhuyung karena tanpa aba-aba kepada tubuhku sendiri untuk berdiri. Namun, tak peduli selarut apa Kak Rama pulang, jika dia membawakan martabak, semua halangan akan ku lewati. Termasuk rasa kantuk dan lelah setelah mengerjakan tugas kuliah.
"Wah, Ibu pikir, Tika sudah tidur dari tadi."
"Ah, Tika memang sudah tidur, tetetapi matanya akan otomatis terbuka setiap kali dibelikan martabak!" Ayah selalu meledekku. Dia selalu menganggap aku adalah putri kecilnya yang akan selalu kecil. Dia tidak tahu saja, kalau putri kecilnya ini sudah memiliki kekasih.
"Ya sudah, makan semuanya sana." Kak Rama menaruh 2 kotak martabak itu di atas meja, lalu saat dia hendak pergi, Ibu menegurnya.
"Kamu mau kemana? Tidak makan?"
"Sudah tadi dengan teman-teman di kantor. Rama langsung ke kamar saja, Bu," jawab Kak Rama membuat ku kecewa. Padahal, aku ingin makan bersamanya. Sudah lebih dari sebulan dia jarang sekali ikut makan bersama, atau duduk diantara kami untuk mengobrol dan bercanda. Apakah pekerjaan sebagai direktur sebanyak itu sampai dia tak memiliki waktu untuk bersama kami?
Akan tetetapi, dia selalu bisa meluangkan waktu dengan teman-temannya. Bahkan, aku pernah memergoki dia pulang pukul 03:00 dini hari. Namun, sepertinya anggota keluarga yang lain merasa biasa saja, mungkin memang aku yang terlalu berpikir berlebihan.
"Kenapa tidak makan, Tika?"
"Iya, Bu -"
Aku spontan berhenti bicara saat menoleh dan tak menemukan kedua orang tua ku di hadapanku. Lalu siapa yang tadi bicara? Tidak mungkin mereka pergi secepat itu?
Aku beranjak dari kursi, lalu berjalan dengan cepat menuju kamar Rama. Mulanya, kamar itu tak bisa terbuka, tetetapi entah karena dorongan apa pintu itu akhirnya terbuka. Aku melihat Rama duduk di sisi tempat tidur sambil menundukkan kepalanya.
"Aku lelah." Dia berdiri dengan gontai. Dalam hitungan detik, tubuhnya terlihat kurus. Wajah bulatnya kini terlihat tirus, pandangan matanya tak terarah.
"Kak Rama ... tidak, tidak, Kak Rama jangan pergi!"
Aku bergegas menghampirinya, secepat kilat aku menyergap lengannya yang tampak tinggal tulang terbungkus kulit. Sayangnya, tubuh Rama kembali berubah seperti hologram. Aku tak bisa menggapainya sama sekali dan perlahan tubuhnya menghilang. Sebuah botol kecil terjatuh ke lantai, obat-obatan aneh itu berceceran di lantai. Kesadaranku seketika menghilang, semuanya berubah menjadi gelap.
Aku membuka mata dengan cepat, napasku tergesa-gesa. Seluruh tubuhku rasanya lengket oleh keringat. Lalu, aku baru menyadari kalau tadi malam, aku langsung menjatuhkan diri ke atas tempat tidur begitu sampai. Kamarku yang sempit ini masih gelap. Dan aku masih merasa aneh dengan kamarku sendiri. Terlihat lebih lengang dari sebelumnya yang selalu terasa sumpek. Semua barang berjejal di sudut-sudut kamar, baju-baju, buku, dan selimut.
Tubuhku refleks berdiri ketika menyadari keanehannya. Banyak barang-barangku yang menghilang! Aku bergegas mencari-cari ponselku. Kamar indekos ini hanya satu petak. Jadi, di sini aku tidur, di sini juga aku makan, menonton televisi, membaca buku, dan memasak. Sehingga, aku tahu jelas ruangan ini benar-benar lengang dari barang-barangku.
Apa aku diusir?
Aku segera meraih jaketku lalu berjalan keluar kamar untuk menghampiri rumah Ibu Rami dan menanyakan soal ini. Dia satu-satunya orang yang memiliki kunci cadangan kamarku.
Sepanjang jalan menuju rumah Ibu Rami yang terletak di lantai bawah kamarku, beberapa penghuni lain jelas-jelas memerhatikanku dengan sinis. Entah karena aku jarang berinteraksi dengan mereka, atau penampilanku yang aneh karena masih memakai gaun semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Mystery / ThrillerArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...