Suara dering nada tunggu terdengar setelah aku menekan nomor ponsel laki-laki misterius itu menggunakan telepon resepsionis hotel. Memang sedikit menyulitkan, harus kembali masuk ke dalam hotel hanya untuk meminjam telepon kabel mereka. Namun, yang aku pikirkan saat ini hanyalah telepon kabel, alat komunikasi selain telepon genggam.
Mungkin, aku bisa menggunakan email, sosial media atau semacamnya melalui komputer. Akan tetetapi, laki-laki dengan nama Arjuna itu hanya meninggalkan nomor ponselnya, sudah sangat jelas apa yang dia maksud.
Area lobby hotel malam ini terasa begitu tenang, hanya ada segelintir orang berlalu-lalang. Sambil menunggu panggilan teleponku diangkat, aku memerhatikan mereka. Pandanganku menyebar, melihat beberapa pasangan yang sesekali lewat menuju lift. Tiba-tiba aku memiliki ide untuk kelanjutan cerita Red Rose, meskipun ide itu masih mentah.
Pandanganku terarah pada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Bukan karena wajahnya, tetapi penampilannya yang mengenakan jaket hitam bertudung. Meskipun ada beberapa orang yang masih menggunakan masker di tengah peraturan pemerintah yang sudah longgar, rasanya aneh memakai masker dan tudung jaket begitu di dalam bangunan hotel ini. Apa tidak ada orang yang mencurigainya?
Aku pikir, laki-laki itu sedang menunggu lift sambil menatap ke arahku. tetapi walaupun lift sudah terbuka, laki-laki itu tak bergerak dari tempatnya berdiri. Aku mulai merasa gugup, bahkan ketika aku mulai mengalihkan pandangan ke arah lain, lalu tak sengaja pandanganku kembali padanya, yang ku lihat adalah sorot matanya lagi.
"Halo?"
Aku menghela napas lega saat mendengar suara seseorang yang akhirnya mengangkat panggilan teleponku. Tadinya, aku sudah akan pergi.
"Saya Red Rose," ucapku memakai nama itu untuk berjaga-jaga pada orang ini.
"Oh, ya. Kamu rupanya."
"Jadi bagaimana? Saya menuntut penjelasan kamu atas obrolan kita tadi," kataku sesekali masih melempar pandangan ke arah lift, di mana laki-laki misterius itu masih berdiri sambil menatapnya.
"Kita tidak bisa membicarakannya melalui telepon."
"Lalu bagaimana? Kamu melarang saya menggunakan ponsel, apa saya harus bolak-balik mencari telepon kabel?!" tukasku tak sabar.
"Tenanglah. Begini saja, besok kita bertemu."
"Tidak bisa. Besok saya harus kembali bekerja, sebagai penulis."
"Sebelum kamu bekerja. Kita bertemu di halte busway Jalan Angkasa pukul 07:00 pagi, bagaimana?"
"Kenapa harus di Jalan Angkasa?" tanyaku mulai mencurigai kalau dia juga mengetahui alamat rumahku.
"Ya, saya memang mengetahui tempat kamu tinggal. Setelah kejadian di Perumahan Greenwood, saya mengikuti kamu pulang."
"Apa?"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara di telepon. Akan ada banyak mata yang mengawasi, sebaiknya kamu hati-hati. Dan, satu lagi yang harus kamu tahu ..." Laki-laki itu berhenti bicara sejenak. Sementara aku refleks menaruh perhatianku pada laki-laki bermasker itu ketika Arjuna menyinggung soal banyak mata yang mengawasi. Lalu, karena kelengahanku, laki-laki bermasker itu sudah melangkahkan kakinya ke arahku. Aku berdoa, dia tidak benar-benar sedang menghampiriku. Namun, demi Tuhan aku benar-benar ketakutan setelah apa yang terjadi padaku saat jumpa penggemar tadi.
"Apa kamu masih mendengar saya?"
Aku buru-buru mengalihkan pandangan ku ke arah lain. Melihat bagaimana resepsionis di meja ini bekerja. Ada 2 karyawati di bagian resepsionis ini. Salah satunya terlihat sibuk hingga beberapa kali berjalan keluar dari area resepsionis, kemudian kembali lagi, lalu keluar lagi membawa beberapa barang. Sementara yang satunya lagi kelihatan lebih santai sambil sibuk memainkan ponselnya.
"Yang harus kamu ketahui adalah, saat ini saya berpihak kepada kamu. Jadi, jangan sampai kamu membicarakan ini kepada orang lain, terutama Viko."
Aku masih mendengarkan suara Arjuna, tetetapi pandanganku masih tak terarah karena laki-laki bermasker itu semakin mendekat ke arahku. Langkahnya semakin cepat, dan aku diam membeku di tempatku. Pikiranku tak fokus, bahkan ocehan Arjuna tak terdengar jelas lagi. Tangan kiri laki-laki itu terlihat memainkan sesuatu di saku jaketnya.
Sorot matanya tertuju padaku, dari dahinya aku bisa melihat keringat yang membanjiri wajahnya. Poni rambutnya yang pendek sampai basah, dan aku melihat ada yang aneh dengan kedua bola matanya. Dia kelihatan tak normal, gerak-geriknya sangat aneh ketika menghampiriku. Bahkan beberapa kali dia memiringkan kepala.
TUK!
Aku langsung menaruh gagang telepon di tempatnya dengan keras sampai si penjaga resepsionis menoleh kaget ke arahku. Aku sampai belum sempat mengucapkan terima kasih atau maaf, karena begitu mendapatkan energi untuk pergi, aku segera berbalik dan berjalan cepat. Aku tahu, sangat jelas kalau laki-laki bermasker itu benar-benar sedang menatap ke arahku.
Dari pintu kaca hotel, aku melihat pantulan laki-laki itu di belakangku. Dia mengikutiku! Aku reflek berlari hingga menerobos pintu, dan laki-laki itu ikut berlari. Mati aku!
Langkahku penuh kelinglungan. Aku berlari menuju jalan raya, ku pikir dia tidak akan berani mengikutiku sampai ke tempat ramai. Namun, kenyataannya dia masih mengikutiku. Aku nekat berlari sekuat tenaga menuju salah satu angkutan umum lalu menerobos masuk ke dalamnya.
"Tolong jalan, Pak," ucapku dengan napas yang tak beraturan. Aku menoleh ke belakang, laki-laki itu menabrak seseorang, lalu dia berusaha menyusulku.
"Nanti. Masih menunggu penumpang lain ..."
"JALAN SEKARANG PAK!"
Entah karena terlalu terkejut dengan teriakanku, atau dia kesal karena penumpang aneh sepertiku, akhirnya sopir angkutan umum ini benar-benar menjalankan mobilnya. Laki-laki bermasker itu berlari, memukul-mukul bagian samping mobil, berusaha menghentikan si sopir. Namun aku terus mengoceh agar dia tidak menghentikan mobilnya. Yang aku dengar, dia selalu bicara "Berikan aku barangnya!"
Tak ku sangka laki-laki itu masih mengejar mobil ini dengan sekuat tenaga sampai dia lupa kalau ini adalah jalan raya besar dan dia tertabrak motor. Aku refleks memejamkan mata sementara 2 penumpang lain berteriak kaget melihat laki-laki itu terlempar ketika motor yang melaju kencang itu menghantam tubuhnya. Kepalanya masuk ke kolong sebuah truk pasir. Sampai di situ aku tak kuat melihatnya lagi dan segera mengalihkan pandanganku ke depan.
Tangan dan kakiku gemetar. Telapak tanganku berkeringat, sementara kedua mataku perih. Aku tahu, sang sopir angkutan umum ini sedang memandang ngeri ke arahku melalui kaca yang tergantung di bagian depan mobil. Aku tahu, ini sangat mengerikan, sampai rasanya aku ingin pingsan karena hal ini. Keheningan di dalam angkutan ini semakin membuatku tak bisa tenang. Mereka memandangku seolah akulah penyebab laki-laki itu tergeletak bersimbah darah di jalanan. Lalu aku memilih untuk meminta turun di depan halte bus. Namun, sang sopir sudah melajukan mobilnya dengan cepat sebelum aku memberikan dia uang ongkos.
Siapa laki-laki itu? Kenapa mengejar ku sampai sebegitunya?
Sekali lagi aku terlambat menyadari, bahwa ada yang aneh dengan Red Rose dan juga kepergiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Misteri / ThrillerArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...