03. KEMATIAN SANG PENULIS

42 9 2
                                    

Tepat di halte bus Jalan Angkasa, busway yang ku tumpangi berhenti. Begitu pintu kaca terbuka, tubuh lemasku terhuyung oleh orang-orang yang bergegas turun. Kakiku hampir salah melangkah dan terjatuh jika saja seorang wanita paruh baya tidak memegangi lenganku.

Aku berusaha berdiri dengan tegap setelah duduk selama 25 menit dengan pikiran yang mengawang. Kepalaku rasanya berputar hingga aku harus berhenti melangkah dan berpegangan pada sebuah tiang listrik. Bayang-bayang tentang apa yang telah terjadi setengah jam lalu, terus berputar di kepalaku. Lalu aku sibuk meyakinkan diri sendiri bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Viko cukup tanggap dengan langsung membawa perempuan itu ke rumah sakit, maka semuanya pasti akan baik-baik saja.

Langkahku mulai gontai, tapi aku berusaha untuk tetap fokus berjalan. Meski terlihat seperti zombie, aku berusaha untuk tetap waras dan tidak menabrak warga kampung atau anak-anak yang sedang berkeliaran di sekitar jalanan.
Mau tak mau, aku harus menaiki tangga menuju kamarku di bangunan indekos ini. Tanganku masih berkeringat dan pandanganku mulai tak fokus.

"Tika!"

Sekali lagi tubuhku terhuyung sampai menabrak dinding ketika seseorang menarik lenganku mendadak. Seorang wanita setengah baya, bertubuh gemuk, yang rambut hitam tipisnya dikuncir asal. Dia adalah Bu Rami, pemilik bangunan indekos yang ku tinggali. Entah kebetulan atau dia sengaja menungguku, yang pasti aku langsung tahu apa yang dia inginkan begitu melihatku.

"Bulan ini terakhir, ya. Bayar hutang yang 5 bulan. Mohon pengertiannya, Tika. Hilang sudah kesabaran saya," tukasnya sambil mencengkeram lenganku. Lalu seolah tak ingin berlama-lama denganku, Bu Rami melepaskan cengkeramannya, lalu berjalan pergi. Dia mengetuk pintu kamar di ujung, melakukan hal yang sama, yaitu menagih uang sewa.

Aku meraih kunci kamarku, lalu memasukkannya ke dalam lubang pintu, memutar kunci sambil masih berpikir mengenai kelanjutan kerjasama ini. Aku tak tahu apakah setelah kejadian ini, mereka akan tetap memakai jasa ku, atau menggantinya, tetapi aku berharap tak perlu ke sana lagi. Pintu kembali ku tutup perlahan setelah aku masuk. Tak ada keheningan lagi, karena ini adalah indekosku, bukan rumah Red Rose. Namun, aku tetap memutuskan untuk merebahkan diri di atas kasur lantai, berusaha untuk mencari ketenangan dengan memejamkan mata sambil mengatur napas.

"Kakak kamu meninggal, Tika. Dia sudah tiada."
"Bagaimana? Kenapa bisa?"
"Kenapa pula kamu mempertanyakan ini? Seperti manusia tidak ber-Tuhan saja. Tentu ini sudah takdir!"

Rama meninggal dengan kondisi yang mengenaskan. Aku tahu betul ada sesuatu yang terjadi pada Rama. Sesuatu yang berusaha diabaikan oleh mereka semua.

"Dia terkena serangan jantung, Tika. Sudahlah, ikhlaskan saja."

Akan tetapi, yang aku lihat bukanlah seperti itu. Aku menemukan beberapa obat asing di dalam kamar Rama. Obat yang kemudian aku ketahui adalah pil ekstasi. Aku mengerti kenapa keluargaku merahasiakan penyebab kematian Rama. Selain tak ingin menanggung malu, mereka juga tak mau melibatkan polisi. Namun, yang masih belum aku terima adalah, kenyataan bahwa ada orang ketiga yang menyodorkan obat-obatan itu kepada Rama. Ada seseorang yang Rama anggap sebagai teman, ternyata menjerumuskan.

Padahal, aku yakin Rama bukan orang yang memiliki alasan untuk mengonsumsi obat tersebut. Dia hidup bahagia, memiliki nilai sempurna, pekerjaan sempurna, dan kekasih yang sangat menyayanginya. Hampir tak ada kesulitan di hidupnya, selain pertengkaran-pertengkaran kecil dengan ayah.

Kalau saja waktu itu aku tidak membiarkannya terus sendirian di kamar; kalau saja saat itu aku mempercayai firasatku untuk mengganggunya di dalam kamar; kalau saja, setidaknya ada satu anggota keluarga yang menyadari kalau Rama tak keluar dari kamar hampir seharian penuh, mungkin dia masih bisa diselamatkan. Dan aku masih mencari teman-teman Rama. Mereka malah tak muncul seorang pun saat pemakaman.

IDENTITY [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang