Laki-laki dengan rambut pendek berwarna hitam ini mengatakan bahwa aku pasti merasa asing dengan bagian novel Red Rose ini, dia masih berdiri di hadapanku. Angin malam menerpa wajahku, tetapi hanya topiku yang bergerak. Berdiri di balkon aula membuatku sedikit lebih baik daripada di dalam bangunan yang penuh sesak.
Katanya, aku bukanlah si penulis bernama Red Rose. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan gagasan itu. Namun, dari cara bicaranya yang lugas, sepertinya dia sangat meyakini apa yang dia bicarakan. Akan tetetapi, dari mana dia mengetahuinya? Atau hanya sekedar menebak-nebak?
Viko masih berteriak-teriak melalui in ear yang terpasang di telingaku. Ia memintaku untuk kembali ke aula. Namun, aku lebih memilih untuk melepaskan alat itu dari telingaku, dan menenangkan diri dari kejadian mengerikan tadi.
"Sepertinya kamu sangat bingung dan ketakutan, Nona. Tenang saja, mereka semua masih mempercayai apa yang didoktrin orang-orang itu kepada mereka. Saya juga hampir tertipu dengan kamu," ujarnya dengan nada yang terdengar lebih ramah dari sebelumnya. "Andai saja saya gak datang ke Perumahan Greenwood tadi siang," imbuhnya, lalu berhenti bicara dan menatap ku kembali, seolah dia tahu kalau aku akan langsung menoleh ke arahnya begitu dia menyebutkan Perumahan Greenwood tadi siang.
Bukan hanya karena terkejut, tetetapi aku juga sedang memerhatikannya. Memang wajahnya terasa tidak asing, tetetapi aku kesulitan mengingatnya.
Kemudian, seolah mengerti kebingunganku, dia memakai topinya kembali dengan cara dibalik ke belakang. Nah, aku baru mengingatnya. Dia adalah salah satu dari 2 tukang AC yang datang ke rumah Red Rose. Bagaimana aku bisa melupakan caranya menatapku sesaat setelah dia melihat jenazah Red Rose di dalam kamarnya. Tatapan penuh selidik yang seolah sedang mengintimidasiku saat itu.
"Kamu tukang AC itu?"
"Tadi siang, sesaat setelah Red Rose dinyatakan meninggal, dia - maksudku laki-laki botak itu menghampiri saya dan teman saya. Dia meminta kami bersedia untuk menjadi saksi atas laporan yang dibuatnya," ucap laki-laki ini mengabaikan pertanyaanku yang mungkin menurutnya sudah jelas apa jawabannya.
"Menjadi saksi apa? Bahkan, kalian tidak melihat kejadiannya. Hanya melihat yang setelahnya terjadi," kataku berusaha mengatakan kalau kejadiannya tidak seperti yang mereka pikirkan. Meski begitu, aku tak yakin dia akan paham, karena yang terdengar hanya suara keputusasaanku.
"Kalau begitu, untuk apa kamu menerima tawaran ini?"
"Karena saya tidak punya pilihan lain!" sergah ku dengan cepat. Baru aku sadari bahwa nada suaraku tinggi ketika mengucapkannya, karena memang aku masih merasa tak terima dengan kontrak ini.
Terjadi keheningan diantara kami berdua untuk beberapa detik. Tak ada dari kami yang mengeluarkan satu patah kata pun. Seolah kami terhanyut dengan pikiran masing-masing, walau aku ragu dengan apa yang dia pikirkan saat ini. Sementara aku sendiri, sibuk memikirkan bagaimana caranya kabur dari kontrak ini tanpa perlu melibatkan polisi. Lalu, aku baru menyadari sesuatu lagi. Oh Tuhan! Kenapa otakku sangat lambat sekali menangkap sesuatu? Atau memang karena hari ini begitu banyak kejadian mengerikan yang menghantam otakku hingga tak bisa berfungsi dengan baik?
Aku beranjak dari dudukku dan menghadap laki-laki ini dengan pandangan serius. Mungkin dia menyadari juga kalau aku sedang menyelidik ke dalam matanya, berusaha menebak-nebak bagaimana dia tahu tentang penawaran itu.
"Dari mana kamu mengetahui soal tawaran itu?" tanyaku masih mempertahankan sikap kewaspadaanku. Bahkan aku melirik ke sekelilingku, khawatir ada orang lain yang ternyata mendengarkan percakapan kami sejak tadi.
Laki-laki itu kembali tersenyum miring kepadaku. Matanya sedikit cekung seolah menunjukkan kepuasan atas tebakkannya. Dia menaruh kedua tangannya ke dalam saku celanannya. Menatapku dengan sikap percaya diri yang agak berlebihan, lalu dia berucap, "Saya mengetahui lebih dari itu, Nona."
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Mystery / ThrillerArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...