04. RED ROSE

40 8 2
                                    

Selama kurang lebih 5 menit, aku bergelut dengan pikiranku. Akhirnya, aku sampai pada sebuah dugaan yang seharusnya sudah aku sadari sejak laki-laki jangkung itu mengunci pintu rumah. Sayangnya, aku baru menyadarinya sekarang. Ketika aku membaca surat laporan ini beberapa kali.

Memang, baru kali ini aku melihat surat laporan kepolisian, tetetapi dari kertas ini, aku bisa menyimpulkan bahwa aku dilaporkan atas dasar mengabaikan seseorang yang membutuhkan pertolongan.

Tubuhku terasa panas, rasanya udara di sekitarku menipis. Sejujurnya, aku tak begitu mengerti tentang hukum. Namun, baru kali ini aku mendengar tentang tindak pidana ini.

"Dari raut wajah kamu, sepertinya kamu belum mengerti juga, ya? Saya melihat secara langsung bahwa tadi siang kamu tahu Red Rose sedang dalam masa sekaratnya. Kejang, bahkan sampai terjatuh ke lantai. Namun, apa yang kamu lakukan? Bukannya segera menolong atau mencari pertolongan, kamu hanya diam dan membiarkannya sampai hilang kesadaran," ujar Viko menjelaskan secara eksplisit apa yang membuatku terancam dengan pasal yang tertulis di kertas ini. Akan tetetapi, aku memiliki alasan yang jelas untuk itu.

"Laporan ini semakin kuat karena pihak Red Rose memiliki lebih dari dua orang saksi. Saya, dan 2 tukang AC yang siang ini datang kemari. Hukumannya semakin jelas, karena korban mengalami kematian yang disebabkan oleh keterlambatan mendapat pertolongan. Sudah mengerti sampai sini?"

Biarkan aku menyimpulkannya sendiri. Viko menyodorkan surat laporan ini agar aku mau menurutinya menjadi sosok Red Rose, menggantikan penulis itu untuk menghadiri jumpa penggemar.

Meskipun kepalaku masih berdenyut-denyut sakit, aku masih bisa berpikir. Aku bisa membayangkan kalau Viko tak mungkin hanya memintaku satu kali ini tampil di depan publik sebagai Red Rose. Dari caranya menawarkan kesepakatan, lalu caranya memberikan ancaman, aku yakin dia orang yang sudah terbiasa memanfaatkan seseorang.

Suara helaan napas gusar dari Viko membuyarkan lamunanku yang masih berusaha mencerna semua kejadian buruk yang datang beruntun hari ini.

"Jadi, bagaimana Tika? Kamu sudah siap menjadi Red Rose?"

"Saya akan pikirkan dulu."

"Sekali lagi, Tika. Ini bukan penawaran, tetapi perintah. Saya rasa kamu mengerti apa itu perintah."

Kesialan macam apa ini? Bermula dari sebuah tawaran menggiurkan menjadi penulis bayangan Red Rose dengan bayaran yang mahal, tetapi malah terjebak dalam keadaan seperti ini.

Jika saja, aku mengerti hukum. Jangankan membayar pengacara untuk membelaku di pengadilan, hutangku saja entah bagaimana nasibnya saat ini. Belum lagi, aku tak tahu apakah akan berhasil melawan mereka. Viko dan Red Rose pasti jauh lebih kaya dariku. Bukankah yang memiliki uang lebih banyak akan selalu mulus jalannya?

"Artika?"

"Anda tidak perlu menanyakan siap atau tidaknya saya. Apa saya memiliki pilihan lain?" tukasku dengan tegas. Bukan ketegasan yang berasal dari si pemberani, melainkan dari si pengecut yang sudah sekarat.

Viko hanya tersenyum miring menanggapi jawabanku yang terkesan ketus. Dia mengisyaratkan pada lelaki jangkung yang sampai saat ini menggunakan kacamata hitam itu untuk pergi entah kemana. Sementara aku, masih di sini, tenggelam dalam kekhawatiranku akan apa yang akan terjadi setelahnya.

***

Tepat setelah aku menandatangani surat kontrak yang disodorkan oleh Viko, mereka bergegas membawaku keluar dari perumahan Greenwood. Yang ku maksud mereka adalah, Viko dan lelaki jangkung bernama Tio. Dengan mobil camry berwarna hitam, tubuhku yang masih linglung dibawa ke sebuah salon kecantikan besar. Di sinilah aku 'dieksekusi', mereka merombak penampilanku.

IDENTITY [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang