02. TRAGEDI

50 10 2
                                    

Aku tahu sejak menerima tawaran menjadi penulis bayangan Red Rose, tulisannya adalah karya-karya yang vulgar. Namun, ketika aku membaca baik-baik isinya, kepalaku rasanya berdenyut sakit. Tentunya bukan karena setumpuk kata dalam layar iPad ini, melainkan karena isi ceritanya yang mampu membuat siapa pun berkeringat dan terangsang. Termasuk aku, dan sepertinya aku tak akan sanggup membacanya lama-lama, aku sudah mencapai batasku.

"Oh, kamu sudah mulai terhanyut ke dalam isi ceritanya," ujar Viko terdengar seperti mengejekku. Bibirnya ditarik ke samping pipinya yang tirus, sementara sorot matanya memandangku. Pandangan laki-laki berotak kotor.

"Apa novel-novel seperti ini diizinkan terbit? Maaf, tetapi setahu saya sudah banyak novel vulgar yang begitu eksplisit akan diblokir."

Mendengarkan pertanyaan ku, Viko malah tertawa. Ia mengambil alih iPad yang ada di tanganku, kemudian gestur tubuhnya memberikan isyarat pada ku untuk mengikutinya ke lantai 2. Apa dia ingin mempertemukan aku dengan Red Rose?

Langkahku mengikutinya menaiki tangga. Ternyata dugaanku benar, ada 3 kamar atau ruangan di lantai 2. Yang pasti, begitu sampai di tangga paling atas, kamar paling ujung kiri adalah yang pertama terlihat.
Viko melewati kamar itu, lalu berjalan menuju ke kamar tengah. Sementara Viko membuka pintu kamar tengah, perhatianku praktis menoleh ke arah lain, dan pandanganku menangkap kamar paling ujung sebelah kanan yang terbuka sedikit. Aku tak bermaksud untuk mengintip, tetapi aku bisa melihat sebuah tempat tidur besar, dan seseorang sepertinya berbaring di sana. Sayangnya, sebelum aku mengamati lebih lanjut untuk memuaskan rasa penasaranku yang mendadak muncul ini, tiba-tiba Viko menyerobot ku lalu menutup pintu kamar itu rapat-rapat.

"Biarkan dia beristirahat. Yang ingin saya tunjukan ada di ruangan itu," ujar Viko mengarahkan aku untuk berjalan ke kamar tengah yang pintunya sudah terbuka lebar.
Begitu kakiku melangkah masuk, ternyata ruangan yang semula ku pikir adalah kamar, ternyata merupakan ruang baca atau bisa dibilang ruang kerja. Hal itu bisa ku simpulkan karena melihat rak-rak buku, meja berbahan kayu yang di bagian atasnya terbuat dari kaca setebal kurang lebih 5 sentimeter, juga sofa berbahan kulit berwarna putih gading.

Viko menginjak sebuah karpet beludru berwarna merah marun dengan sepatu kulitnya. Aku merasa bersalah melihatnya. Lalu dengan arah pandangnya, Viko seolah-olah menyuruhku melihat apa yang ada di rak-rak buku ini. Saat aku mendekat ke rak, melihat buku-buku ini, sudah tak diragukan lagi kalau kepopuleran Red Rose memang sebesar ini. Sederet buku-buku di rak ini adalah novel karya Red Rose. Hampir mirip dengan penulis E.L James yang menulis series Fifty Shades of Grey. Bedanya, novel milik Red Rose memiliki series yang lebih banyak.

"Semua novel ini diterbitkan atas permintaan pembaca. Mereka begitu mencintai tokoh yang dibuat oleh Red Rose hingga rela membayar ratusan ribu untuk membeli setiap bukunya. Dan kami memiliki penerbit sendiri untuk ini."

Orang-orang pasti rela membayar berapa pun untuk cerita-cerita menggairahkan seperti ini. Sejujurnya, novel-novel Red Rose memiliki konsep yang sama dengan Fifty Shades. Vulgar, liar, dan candu. Namun, aku belum menemukan sisi romantis dalam novel miliknya.

"Tenanglah, Tika. Ini bukan bisnis ilegal, ini hanya cerita fiksi. Bahkan, nanti malam kami akan menghadiri jumpa penggemar yang akan dihadiri lebih dari 100 orang," ujar Viko dengan bangga melihat buku-buku yang sudah memberikannya dan Red Rose keuntungan yang sangat melimpah. Pantas saja mereka berani membayarku sangat mahal.

"Kamu akan mengerti setelah membaca keseluruhan novel ini. Santai saja, saya akan memberikan kamu waktu sebelum mulai menulis," ucap Viko memberikan kembali iPadnya kepadaku. Lalu sebelum aku mengajukan pertanyaan, dia sudah mengalihkan perhatiannya pada ponsel pintarnya yang berdering berisik di ruangan ini. Dengan mimik wajahnya, Viko seolah berkata kalau ia harus keluar mengangkat telepon. Aku masih mendengar dia menggerutu kepada tukang AC yang bicara padanya di telepon.

Baiklah, waktunya melakukan riset dari novel ini sendiri. Aku menutup pintu ruangan ini rapat-rapat untuk mendapatkan ketenangan. Membaca buku ini memang harus di tempat yang hening dan sendirian.

Aku memakai kacamata bacaku dan mulai melanjutkan bacaan ku untuk mempelajari gaya tulisannya, cara dia mendeskripsikan adegan demi adegan. Dan benar, memang harus aku akui kalau caranya menulis mampu membuat pembaca terhanyut ke dalam ceritanya. Akan tetapi, fokus ku terganggu sebentar ketika mendengar suara seperti barang jatuh dari kamar sebelah. Seperti yang aku katakan tadi, daerah rumah ini sangat hening, sehingga suara sekecil apapun mampu terdengar. Sudahlah, aku pikir si penulis bernama Red Rose itu sedang melakukan kegiatannya.
Lagipula, aku sudah diperingati untuk tidak menemuinya sampai dua kali.

Karena fokus ku sudah terlanjur pecah, pandangan ku jadi teralih ke rak buku tadi. Aku masih tak percaya bahwa novel-novel ini bisa terbit. Aku rasa, editor buku ini sangat bekerja keras untuk membetulkan kata-kata yang terasa terlalu vulgar.
Jika aku perhatikan, Red Rose seperti kecanduan dengan imajinasi-imajinasi liarnya. Aku khawatir kesehatan mentalnya pun terpengaruh dengan setiap adegan yang ditulisnya. Kecanduan itu, mungkin bisa membunuhnya. Dia menulis semuanya dengan rinci, dan begitu halus. Aku benar-benar penasaran dengan Red Rose.

Waktu berlalu begitu cepat. Keheningan di ruangan ini membuat aku betah membaca buku berjam-jam. Tak sia-sia juga, karena aku sudah mulai terbayang apa yang akan aku tulis nanti, dan bagaimana cara ku mendeskripsikannya. Kecuali kalau nanti Viko mau menunjukkan kerangka cerita yang dibuat oleh Red Rose.

Sekarang pukul 12 : 30 siang, aku beranjak dari kursi, lalu melangkah keluar ruangan berniat mengistirahatkan mataku sekaligus mencari makan siang. Namun, suara-suara benda terjatuh kembali terdengar dari kamar sebelah, yaitu kamar Red Rose. Aku sangat penasaran dan sedikit khawatir apa yang sedang dilakukan penulis itu di kamarnya. Padahal, terakhir kali aku melihat, Red Rose sedang berbaring.
Aku melangkah mendekat ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat. Suara itu terdengar semakin jelas, kalau benar ada barang yang terjatuh. Atau sengaja dilempar karena suaranya yang kasar. Sayup-sayup, aku mendengar suara merintih tak jelas.

Viko memperingatiku untuk tidak mengganggu Red Rose. Aku juga bukan orang yang pandai berbasa-basi kepada orang baru. Akan tetapi, aku merasa ada yang aneh dengan Red Rose, sehingga aku memutuskan untuk mengetuk pintunya beberapa kali. Suaranya menghilang, tak ada lagi suara yang bicara gusar. Aku pikir, dia memang tidak mau diganggu. Namun, ketika aku berbalik badan hendak pergi, suara sesuatu yang terjatuh terdengar lebih keras dari dalam. Ini bukan suara barang, aku yakin bukan.
Tanganku refleks membuka pintu kamar yang memang tak dikunci. Namun, langkahku yang semula bersemangat untuk masuk, seketika terhenti.

Dia, seorang wanita yang semula aku lihat berbaring di atas tempat tidur, kini tergeletak di atas lantai dengan tubuh yang kejang dan berkeringat. Tangannya meremas bagian perut, sementara kedua matanya membulat sempurna. Tanganku gemetar, kedua kakiku lemas. Seolah mengalami deja vu, tubuhku membeku. Di otakku, terbayang wajah kakakku. Dia mati, dia akan mati.

Tenggorokanku tercekat, rasanya ada yang sedang mencekik leherku hingga kesulitan berteriak. Ya Tuhan, dia akan mati.

"TOLONG!" suaraku terdengar bergetar dan menggema. Aku berharap orang-orang mendengarnya sehingga aku tak perlu berteriak lagi karena rasanya aliran darahku berhenti. Jantungku mencelos melihat perempuan itu sudah berhenti kejang sementara mulutnya mengeluarkan busa. Rasanya aku akan pingsan.

"Artika! Ada apa?"

Tubuhku masih membeku dan terhuyung ketika Viko menerobos masuk hingga menabrakku. Dua orang laki-laki berkaus putih dengan rompi abu-abu datang di belakang Viko dan mereka semua ikut menjadi saksi atas apa yang terjadi pada perempuan itu.

Apa yang terjadi pada perempuan itu? Ini tidak mungkin terjadi. Apakah dia Red Rose yang dimaksud Viko sedang mengalami sakit?

IDENTITY [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang