08. RANTAI KEMATIAN

17 6 0
                                    

"Jadi, kamu yakin dia orang yang mengikuti kamu semalam?" tanya Arjuna setelah aku menceritakan padanya alasan mengapa aku begitu terkejut melihat berita ini. Sejujurnya, aku berharap bukan dia orangnya, tetetapi di sisi lain, aku memang berharap orang itu benar-benar tewas karena aku tak mau terus diteror oleh orang itu, meskipun aku belum tahu siapa dia. Namun, membayangkan kembali bagaimana dia menatapku, mengejarku dengan agresif, rasanya memang lebih baik dia tiada.

"Untuk apa dia diotopsi? Bukankah penyebab kematiannya sudah jelas?" tanyaku mengabaikan pertanyaan Arjuna sebelumnya. Aku sudah muak dengan pertanyaan Arjuna yang mengulang. Seolah dia tidak mempercayaiku.

"Polisi memang sedang mengincar dia. Diduga, dia adalah pecandu narkotika yang sempat melakukan pemukulan terhadap dosennya. Bagaimana kamu melihatnya? Mendengar ceritamu, sepertinya laki-laki itu sedang mengalami sakau - putus obat-obatan terlarang," jelas Arjuna.

Aku enggan mendeskripsikan lagi bagaimana keadaan orang itu. Lagi pula, sepertinya Arjuna sudah mengetahui jawaban atas pertanyaannya itu.

"Apa kamu sempat bicara dengan dia?"

Aku berusaha mengingat-ingat. Malam itu aku sibuk dalam kepanikanku sendiri hingga tak memerhatikannya jelas, dan ketakutanku tentu saja membuatku tak ingin bicara dengannya meskipun dia terus mengikutiku.

"Dia sempat berbicara tak jelas, tetapi saya yakin itu bukan karena maskernya. Dia memang mengoceh sesuatu saat mengejar saya. Pandangannya tidak fokus sampai beberapa kali menabrak orang, dan dia berteriak 'berikan aku barangnya', kurang lebih begitu," jawabku menjelaskan. Arjuna mengerutkan keningnya, kedua matanya terus menatap ke arah map berita, hening. Dia seolah terhanyut dalam pikirannya sendiri.

"Apa dia juga memiliki hubungan dengan Red Rose?" tanyaku.

Arjuna menghela napas panjang, lalu dia menggelengkan kepalanya.

"Saya belum mengetahuinya secara pasti, tetetapi kita akan mencari tahu nanti. Yang ingin saya bicarakan hari ini pada kamu adalah tentang Viko."

Kini, giliran aku yang mengerutkan dahi bingung. Aku pikir dia akan membicarakan mengenai identitas Red Rose. Atau, mungkin saja Arjuna memfokuskan diri dengan Viko untuk membebaskan aku dari jebakan mereka?

"Jadi apa yang bisa membebaskan saya dari jebakan dia?" tanyaku langsung saja pada hal yang ingin aku tanyakan padanya. Aku tak mempedulikan hal lainnya.

"Satu-satunya cara kamu membebaskan diri dari jebakan Viko adalah, membuktikan bahwa kamu bukan orang yang bersalah," jawab Arjuna menatapku serius.

Astaga! Kalau hanya itu jawabannya, aku tidak perlu repot-repot pergi ke sini dan menemui laki-laki ini. Aku ingin memprotes jawabannya itu, tetapi Arjuna kembali membuka mulutnya.

"Dengar, Artika. Saya mengikuti Viko sampai ke rumah sakit, saya juga mengikuti segala proses penanganan Red Rose sampai ke pemakaman. Saat itu saya tahu dokter mengatakan pada Viko bahwa ada indikasi Red Rose mengalami overdosis. Mereka menawarkan otopsi untuk memeriksa jenis apakah obat-obatan yang menjadi penyebab kematiannya. tetapi Viko menolak."

"Viko? Kenapa harus Viko yang memutuskan? Di mana keluarganya?" tanyaku bingung.

Arjuna menggeleng pelan, raut wajahnya murung, tetetapi aku melihat rahang-rahangnya mengeras. Dia menyodorkan padaku kliping yang tadiku lihat diawal. Aku meraih kliping tersebut dan membacanya dengan hati-hati. Ternyata, ini merupakan profil milik Red Rose. Ya, wanita ini yang aku lihat mengalami kejang di kamarnya. Dia ternyata seorang model bernama Siska. Astaga, dia cukup terkenal ternyata. Siapa yang akan menyangka kalau model terkenal bernama Siska ini adalah seorang penulis bernama Red Rose! Namun, kemudian aku menyadari tidak ada informasi lain dari Siska selain nama lengkap, usia, tanggal lahir, tinggi badan, berat badan, dan riwayat karirnya dibidang modeling.

IDENTITY [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang