Akhirnya aku bertemu dengan Arjuna di tempat karaoke yang sama. Aku akan mempertimbangkan keputusanku untuk mengikuti rencana Arjuna, atau bahkan menolaknya saja sekalian.
Arjuna segera memberikan rekaman yang dia dapatkan dari hotel. Dan seperti apa yang dikatakannya melalui telepon, laki-laki bermasker itu menghadang mobil Viko, lalu menghampiri mereka di dalam mobil.
"Apa kamu ingat dengan penggemar yang menyerang kamu di tengah-tengah acara tanda tangan? Bukannya membantu kamu, Viko malah merekam kejadian tersebut."
Aku tak ingat itu, karena kejadian saat itu sangat cepat dan kacau. Bahkan, aku tak sadar Viko ada di mana saat aku diserang.
"Mereka sedang membuat kamu tertekan, Tika. Mereka ingin kamu merasa stres dan selalu gelisah," jelas Arjuna yang membuatku mengerutkan kening bingung.
"Kenapa mereka melakukan ini? Saya sudah mengikuti semua keinginan mereka," gumamku tak habis pikir.
"Karena mereka ingin kamu membutuhkan sesuatu yang mereka jual. Ini semakin memperkuat dugaan saya. Cara Viko meracuni para artisnya adalah, dengan menghasut mereka agar mau mengonsumsi obat-obatan terlarang."
"Obat-obatan itu mahal bukan? Bagaimana mereka memberikannya secara cuma-cuma?" tanyaku bingung.
"Bodoh. Obat-obatan itu memiliki sifat candu. Satu atau dua kali kamu akan diberikan gratis, tetapi begitu kamu sudah ketergantungan, maka mereka akan menjual dengan harga selangit. Orang yang kecanduan, tidak akan peduli seberapa mahal harganya, atau dari mana mendapatkan uangnya. Yang penting mereka bisa segera mendapatkan obatnya," jawab Arjuna membuatku merinding. Seketika aku mengingat air mineral yang selalu Viko tawarkan kepadaku. Akan tetetapi, apa mungkin air bening itu berbahaya? Dari bentuknya saja terlihat hanya air mineral biasa.
"Lalu bagaimana? Apa kamu menemukan sesuatu?" tanya Arjuna ketika aku hanya diam saja.
Aku menghela napas panjang, kemudian mengeluarkan ponsel yang pernah dia berikan. Arjuna menatapku bingung.
"Kita hentikan saja, Juna. Kita bisa mati melawan mereka," ujarku pelan.
Arjuna menatapku penuh selidik, mungkin dia mengira kalau aku sudah menjadi pengkhianat dan mengakhiri kerja sama kami.
"Apa mereka mengancammu?"
"Bahkan mereka tidak mengetahui rencana kita. Lagi pula, semua kejadian ini sudah menjadi ancaman untuk saya!"
"Lalu bagaimana dengan kontrak itu? Apa kamu pikir mereka akan melepaskanmu begitu saja? Jika kita tidak bisa membuktikan Viko adalah penyebab kematian Red Rose, kamu akan terus dimanfaatkan oleh mereka."
"Lebih baik begitu, atau kabur ke mana saja, dibanding harus mati konyol di tangan mereka."
Arjuna tak menjawab, ia hanya menghela napas berat setelah memandangku dengan tatapan kecewa. Aku tahu keinginan Arjuna sangat baik, tetetapi tak semua hal bisa kita tangani. Apalagi ini menyangkut nyawa. Mungkin, jika aku bekerja sesuai dengan tugasku, semuanya akan baik-baik saja. Walaupun, aku penasaran dengan apa yang dilakukan Viko dan tentang identitas Red Rose yang sebenarnya. Mengapa dia tak memiliki keluarga, dan mengapa namanya tidak terdeteksi di catatan data penduduk?
Arjuna menyambar mapnya di atas meja sambil beranjak, hingga kertas-kertas di dalam map berhamburan ke lantai. Aku menghela napas pelan, mau tak mau aku harus memunguti kertas-kertas ini.
"Ini siapa?" tanyaku memungut salah satu kertas yang terjatuh dan melihat salah satu data seorang laki-laki muda.
"Seperti yang kamu lihat, namanya Rama. Itu semua adalah data para korban Viko menurut penelusuran saya."
"Bukan hanya artis?" tanyaku dengan suara gugup dan bergetar memandangi kertas ini. Ya, kertas dengan data korban bernama Rama Aditya, dia kakakku!
"Tentu saja bukan. Kamu pikir, laki-laki bermasker yang tewas tertabrak itu artis? Ini yang ingin saya jelaskan kepada kamu, jika saja kamu tidak ingin berhenti," jawab Arjuna mengambil kembali mapnya. Namun, saat ia ingin mengambil kertas di tanganku, refleks tanganku menyingkir. Aku menatap Arjuna dengan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhku.
"Baiklah, tolong jelaskan yang ini," ujarku menunjuk foto Rama.
Arjuna mengambil alih kertas tersebut dari tanganku dan menatap foto kakakku. Kemudian, dia mengambil satu lembar lagi data korban.
"Saya kurang yakin dengan yang ini. Saat menelusuri informasi tentang Viko, saya menemukan kantor tempat Viko bekerja sebelum dia menjadi manager artis. Dia bekerja di sebuah perusahaan seni. Orang-orang di sana menyebutkan bahwa Viko mengundurkan diri sejak sahabatnya meninggal - dia Rama ..."
Aku terdiam sambil memejamkan mataku, menunduk sambil mengepalkan tanganku. Apa aku tak bisa mengingat Viko pernah berteman dengan Rama? Aku tak ingat dia pernah datang ke rumah.
"Karena saya sudah mencurigainya, saya mencari tahu tentang kematian Rama. Setelah meminta izin dari pihak kantor, saya melihat loker-loker kerjanya. Saya yakin, orang bernama Rama ini adalah awal mula Viko terlibat dalam bisnis obat-obatan terlarang-"
"Apa maksudmu?!" sergahku tanpa kusadari nada suaraku cukup tinggi hingga Arjuna menatapku heran.
"Ketika saya memeriksa loker Rama, dan saya menemukan beberapa butir pil ekstasi di dalam pelastik klip bening. Ini semua janggal. Menurut para karyawan, Rama adalah karyawan paling tekun dan berprestasi. Mana mungkin dia menaruh obat-obatan itu sembarangan di lokernya begitu saja? Seolah-olah sengaja agar orang-orang langsung menemukan pil itu ketika membuka lokernya," jelas Arjuna.
Aku termenung memikirkan hal ini. Arjuna betul, Rama bukan orang yang ceroboh, bahkan di sisa terakhirnya pun dia mengurung diri agar kami sekeluarga tak tahu dirinya sedang mengalami sakaw. Mama sering membersihkan kamar Rama, tetetapi dia tak pernah menemukan obat apapun.
"Jadi, maksud kamu ada seseorang yang sengaja menaruh pil itu di loker Rama, agar terlihat oleh orang-orang?"
Arjuna menganggukkan kepalanya, "Viko mengundurkan diri secara mendadak, lalu berpindah profesi menjadi manager artis. Bagaimana bisa seorang sales marketing berpindah profesi begitu saja? Mungkin, Rama adalah korban pertama Viko, dan setelah membuktikan kesuksesannya dengan menggaet Rama, Viko memutuskan untuk menekuni bisnis ilegal ini," ujar Arjuna yang semakin tak jelas ku dengar, karena fokusku mulai terganggu. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, air mataku sudah tak terbendung. Viko sialan itu, telah menjebak kakakku, dan sekarang, dia menangkapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY [Sudah Terbit]
Misterio / SuspensoArtika harus menjadi saksi kematian seorang penulis misterius bernama Red Rose di kediamannya, mengingatkan gadis itu akan mendiang Kakak laki-lakinya. Di tengah kelinglungan akan traumanya, ternyata Artika dijebak oleh manager Red Rose sehingga dia...