Akan selalu ada akhir bahagia untuk mereka yang bersabar dengan ujian semesta.
Itu yang sering aku bisikkan dalam diriku sendiri setiap kali aku berhadapan dengan suatu masalah—
"Rajaku, Puteri Mahkota seharusnya sudah menikah sekarang!"
"Bukankah lebih baik kita menikahkan Puteri Mahkota, Yang Mulia?"
"Masyarakat mulai bertanya-tanya tentang keberadaan Puteri Mahkota, Paduka Raja. Rakyat paduka sudah mulai resah."
"Demi martabat dan harga diri Kerajaan Utara, alangkah baiknya kita segera memunculkan sosok suami untuk Puteri Mahkota."
"Setuju, agar Puteri Mahkota bisa kembali ke publik."
—contohnya seperti masalah yang kuhadapi pada saat ini. Aku hanya bisa terduduk tegap di kursiku, menghembuskan nafasku sambil menatap ke arah permukaan meja kayu di hadapanku. Aku mengetuk-ngetuk mejaku dengan ujung kuku jemariku sambil terus mendengar permintaan mereka.
"Puteri Mahkota?"
Aku mengangkat kepalaku tanpa menatap ke arah sumber suara, aku menarik nafasku sambil memerbaiki posisi dudukku. Aku menatap kosong ke depan.
"Saya masih teguh pada pendapat saya." Kataku dengan tenang, mataku perlahan bergerak ke sosok di seberangku. Seorang pria tua yang duduk tegap dengan seragam lengkapnya, tampak samar-samar juga menatap ke arahku. "Pernikahan itu tidak perlu."
Ini bukan pertama kalinya aku mendengar topik ini. Topik pernikahan ini sempat disampaikan padaku dengan cara yang lebih santai, hampir seperti basa-basi, sempat juga mereka menghadapku hanya untuk membahas itu. Tapi aku selalu menolak ide konyol itu dengan tegas. Tidak aku sangka mereka membawa topik ini ke hadapan Paduka Raja.
Aku berdeham kecil dan kembali menatap kosong ke arah karpet merah lebar dan panjang yang membatasiku dengan sosok yang ada di seberangku.
"Lagipula penerus kerajaan sudah lahir, jadi untuk apa menikah?" Tanyaku, dengan nada remeh.
"Apa yang akan dikatakan oleh rakyat jika penerus tahta Raja lahir tanpa Ayah, Yang Mulia? Tidakkah penerus tersebut akan dicemooh dan dipanggil anak tidak sah?"
Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Aku menoleh ke asal suara, menatap pria tua lain yang juga menatapku dengan tatapan intimidasi tak sopannya. Aku menarik dan menghembuskan nafasku dengan perlahan, mencoba menenangkan diri.
Seorang Puteri Mahkota harus tenang, tidak boleh membuat kekacauan, separah apapun aku diprovokasi.
"Semoga semesta mengampunimu atas ucapan menyakitkan dan menjijikkanmu terhadap Puteri Mahkota. Tapi, bahkan seorang Raja pun tidak bisa mengelak bahwa Pangeran Muda adalah putraku. Dia terlahir dari rahimku dan hanya dari rahimku. Seharusnya itu lebih dari cukup untuk membuktikan anakku adalah keturunan yang sah." Kataku, mencengkram gaunku dengan kuat, mungkin kuku-ku sudah membuat lubang di rok gaunku.
KAMU SEDANG MEMBACA
from YOU, to GOD's ear
Romance"Darimu, ke telinga Tuhan." Sebuah kisah pernikahan yang terpaksa terjadi antara seorang Puteri Mahkota dan seorang Pangeran dari kerajaan berbeda. Dari sisi budaya hingga kepribadian, dari suara yang terdengar hingga doa yang terbisikkan, dari g...