Keluarga Kerajaan Selatan datang berkunjung ke istana. Aku sudah menyiapkan diri untuk menyambut mereka. Aku menampilkan versi terbaik dari diriku, versi yang lembut dan ramah. Tapi mulutku masih enggan menyebut nama pria itu.
Aku dan Ratu Kerajaan Selatan duduk santai sambil berbincang-bincang kecil. Aku meminta tolong Adriel untuk menyajikan teh hangat untuk Ratu. Penjagaku itu menggunakan alat komunikasinya untuk menyampaikan pesanku. Tidak lama setelah itu, pelayan-pelayan datang dengan membawa secangkir teh dan beberapa kudapan kecil.
"Ini jamuan yang sangat menggemaskan, Puteri Mahkota." Kata Ratu itu, aku tersenyum.
"Dengan segala hormat, Yang Mulia, panggil saya Annalie." Sahutku, wanita cantik di hadapanku itu tersenyum.
Ratu Kerajaan Selatan sangat baik. Beliau adalah sosok yang hangat. Aku merasa nyaman berada di samping Ratu ini. Tidak lama, aku melihatnya menyeruput teh.
"Teh yang luar biasa menyegarkan, Annalie." Puji si Ratu membuatku tersenyum puas.
"Saya senang Anda menikmatinya, Yang Mulia. Teh ini adalah racikan saya." Ujarku.
"Benarkah? Kamu pandai sekali, Annalie."
"Sanjungan Anda membuat saya malu, Yang Mulia."
Ratu terkekeh kecil. "Jangan sungkan seperti itu. Saya benar-benar menyukai ini."
"Mendiang Ibunda saya mengajarkan saya tentang peracikan teh sejak saya kecil. Kemampuan meracik ini adalah salah satu kenangan yang bisa terus saya kembangkan selama hidup saya, agar Ibunda saya tetap berada dalam hati saya."
Aku melihat sang Ratu tersenyum haru. "Yang Mulia Ratu pasti bangga denganmu, Annalie. Kalian terdengar sangat sayang kepada satu sama lain."
Aku mengangguk kecil sambil tersenyum. "Sangat."
Mataku menatap kosong, lalu bergerak ke arah taman, dan tanpa sengaja mataku bertemu dengan mata pria itu. Aku sedikit terkejut tapi dia tidak bergerak. Matanya tampak seperti sedang menerawang. Aku mengernyitkan keningku dan melototinya, barulah dia mengalihkan pandangannya.
"Amma!"
Aku menoleh dan melihat anak manisku berlari ke arahku. Aku tersenyum lebar dan berjalan menghampirinya. Aku berlutut dan menyambutnya dalam pelukanku. Aku memeluknya dengan begitu erat, aku sangat merindukannya. Sudah beberapa hari ini aku tidak sempat bertemu dengannya karena sibuk mengurusi hari kematianku—maksudku, hari pernikahan nanti.
"Dalas rindu." Ujarnya dalam pelukanku.
"Amma juga."
Amma, adalah panggilan manis Dalas untukku. Yang juga kata pertamanya.
"Annalie, apakah dia ...."
Aku mendengar suara di belakangku. Aku berdiri dan membalikkan tubuhku, menghadap sang Ratu yang tampak bertanya-tanya. Aku diberitau bahwa keluarga Kerajaan Selatan sudah diberitau tentang Dalas. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun.
"Ya, Yang Mulia. Dia anak saya. Dalas Gunoir." Kataku. Aku menoleh kepada Dalas. "Beri salam, Dalas."
"Salam, Yang Mulia." Ujar Dalas, meletakkan tangannya di atas perutnya dan membungkuk perlahan.
Aku melihat mata Ratu tampak berbinar-binar. Senyumannya mengembang manis. Aku melihat Ratu berdiri dan menghampiri kami—aku dan Dalas. Anakku berlindung di balik tubuhku, mungkin karena malu dan takut melihat wanita bergaun besar di hadapannya, berbeda dengan Amma-nya yang memakai gaun tipis sederhana.
Ratu berlutut saat berada di hadapanku, aku sedikit terkejut. "Yang Mulia—"
"Calon cucuku manis sekali."
Aku tertegun. Entah apa yang aku rasakan setelah mendengar itu dari mulut orang asing. Tapi mungkin kata yang paling mendekati adalah ... terharu?
Dalas tidak pernah bertemu orang asing sebelumnya. Aku tidak membiarkannya. Selama hampir 6 tahun dia hidup di Istana, dia tidak pernah melihat dunia luar. Dia tidak tau ada kehidupan lain di balik tembok istana. Gedung pencakar langit sangat-sangat jarang dibangun di Kerajaan Utara, jadi tidak ada petunjuk untuk mata Dalas bahwa ada kehidupan di luar sana.
Maksudku, aku tidak menyangka, orang asing, bahkan dari kerajaan lain datang dan mengunjungi Kerajaan Utara untuk yang pertama kalinya, memuji anakku. Hatiku terasa dibelai, terisi dengan kehangatan.
Tidak lama setelah itu, cucu kembar dari Ratu Kerajaan Selatan menghampiri Dalas dan mengajaknya bermain. Aku memberikan izin dan melirik Adriel, memberikan signal untuknya menjaga anak-anak itu. Aku melihat Dalas dan sepasang anak kembar itu bermain, tawa mereka terdengar begitu lepas.
Oh, Tuhan. Apakah rakyatku akan bereaksi seperti ini? Apakah mereka akan menyayangi anakku dan menerimanya dengan segenap hati? Apakah rasa takutku tentang reaksi masyarakat Kerajaan Utara terlalu berlebihan? Apakah memang seharusnya ini terjadi?
Banyak pertanyaan yang ada di dalam pikiranku. Segala kekhawatiranku terhadap reaksi dunia tentang Dalas masih melekat di dalam pikiranku. Aku banyak takut. Aku menjaga Dalas dari kerasnya dunia dengan bersusah payah. Anak itu, anakku, berhak hidup dengan damai. Harus lebih damai dariku. Jadi aku melakukan apapun agar bisa memberikannya kehidupan yang damai.
"... bukankah begitu, Annalie?"
Aku terbangun dari lamunanku dan mendengar pertanyaan Ratu yang tidak sempat aku tangkap. Aku menoleh ke arah Ratu tersebut dan mengangkat kedua alisku, menunjukkan perhatian penuh.
"Maaf?" Gumamku, menandakan aku tidak menangkap pertanyaannya.
"Anakmu itu, sekilas sangat mirip dengan Devan, bukankah begitu?"
Seketika jiwaku seperti tersambar oleh petir. Gendang telingaku seperti mendengar banyak sekali piring yang dipecahkan. Mendengar pernyataan itu membuatku hampir kehilangan akal.
Tidak, anakku mirip denganku! Bukan mirip dengan makhluk itu! Tidak! Tidak boleh! Yang boleh mirip dengan anakku adalah aku! Ibunya! Bukan—
Aku perlahan, memaksa menarik kedua sudut bibirku dan tersenyum. "Sebuah kebetulan yang menarik, Yang Mulia."
Aku melihat Ratu tersenyum dan mengangguk, sepertinya setuju denganku. Astaga! Hatiku rasanya ingin meledak! Ada banyak sekali teriakan yang ingin keluar dari mulutku, tapi aku tidak boleh membuat kekacauan.
Ingat, Annalie. Toleransi, bukan pengampunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
from YOU, to GOD's ear
Roman d'amour"Darimu, ke telinga Tuhan." Sebuah kisah pernikahan yang terpaksa terjadi antara seorang Puteri Mahkota dan seorang Pangeran dari kerajaan berbeda. Dari sisi budaya hingga kepribadian, dari suara yang terdengar hingga doa yang terbisikkan, dari g...