💐 Camelia

178 41 18
                                    

Di rumah kaca Verena kembali sibuk dengan bunga-bunganya. Masih ditemani alunan musik klasik, kali ini koleksi Frederic Chopin yang dikenal sebagai musisi romantik terbaik di dunia.

Satu persatu bunga yang telah mekar segera ia petik dan ia bawa ke toko lalu ia letakkan sesuai jenisnya. Ia menarik kursi dan duduk di atasnya. Mulai merangkai bunga menjadi sebuah buket yang cantik. Hari ini ia mendapat tiga pesanan. Dua dari pusat kota, satunya dari teman Luke yang baru pulang dari daratan utama Nordia.

Satu jam kemudian seorang pelanggan masuk. Ia mengenakan coat hijau selutut, rambut pirangnya tergerai sedikit berantakan. Hidungnya memerah karena kedinginan. Kedua matanya terlihat sembab seperti habis menangis.

“Selamat datang.” Verena menyapa ramah.

“Bisakah aku mendapatkan buket krisan putih?” tanyanya tanpa basa basi. Tak ada senyum sedikit pun di wajahnya. Tatapannya terlihat muram.

“Mohon tunggu sebentar.” Verena bergegas membuatkan buket sesuai pesanan. Sementara wanita berambut pirang itu menunggu di depan sambil melamun. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Diam-diam Verena memperhatikannya selagi tangannya sibuk merangkai bunga.

“Dia terlihat sedang sedih,” batin Verena. Ia berhenti memperhatikan wanita itu dan menarik napas dalam-dalam. Ia genggam erat buket bunga krisan dengan kedua tangannya. Beberapa detik kemudian bunga-bunga itu terlihat sedikit bercahaya. Verena menyalurkan kekuatannya pada bunga dan berharap bunga ini dapat membuat perasaan si wanita berambut pirang membaik, atau setidaknya bisa mengurangi sedikit kesedihannya.

“Buketnya sudah jadi,” ujar Verena. Si wanita pirang mendekat, ia ambil buket itu dari tangan Verena dan segera membayarnya.

“Terima kasih.” Setelah itu dia berderap keluar tanpa membalas senyuman Verena sama sekali.

Ia masuk ke dalam snowcar miliknya dan segera melesat menuju gunung Bearbern yang berada tak jauh dari Happy Nature. Mobil itu melaju terus melewati jalanan terjal hingga berhenti di ujung jalan setapak. Dari situ dia harus berjalan kaki karena mobil tak bisa melewatinya.

Wanita itu turun sambil membawa buket bunga. Ia merapatkan coat hijaunya dan melilitkan syal di leher. Hidungnya semakin memerah. Tak ada siapapun di sana selain dirinya.

Bootsnya mulai menapaki jalan kecil berliku yang penuh salju. Di sekelilingnya tampak gelap meski hari masih siang. Hanya cahaya dari smartwatch yang meneranginya. Ia terus berjalan selama hampir satu jam dan berhenti di dekat tebing. Dari sana ia bisa melihat pemandangan kota Longnightbyen dalam balutan lampu-lampu. Menara jam di utara sana terlihat menjulang tinggi dengan kokoh.

Napasnya menderu cepat. Ia melirik layar smartwatch yang menampilkan informasi suhu di tempatnya berdiri, minus sembilan derajat, suhu yang cukup untuk membuat seseorang membeku, tapi karena ia sudah berjalan selama satu jam jadi ia tak terlalu merasa kedinginan. Apalagi ia sudah mengatur pemanas dalam coatnya untuk menjaga tubuhnya tetap hangat.

“Ini hari ke seratus kau pergi. Semalam aku menangis sampai pagi lalu kuputuskan ke sini karena kau sangat menyukai tempat ini.” Dia berdiri kaku menghadap kota Longnighbyen. Kedua matanya mulai berkaca-kaca, padahal ia sudah berjanji agar tidak menangis di tempat ini.

“Aku ingin sekali menyusulmu, tapi kau pasti marah dan akan menyuruhku untuk tetap melanjutkan hidup.” Kali ini ia tertawa getir sambil memeluk erat buket krisan yang dibawanya. Ia memejamkan mata dan terdiam lama tanpa melakukan atau mengatakan apapun.

Ia mencoba mengenang segala hal tentang orang itu. Senyumnya, tawanya, suaranya dan hal-hal iseng yang dilakukannya.

Perlahan perasaannya menghangat. Untuk pertama kalinya sejak seratus hari terakhir ia menemukan kedamaian di hatinya. Ia meneteskan air mata. Bukan lagi karena sedih, tapi karena lega akhirnya ia sudah bisa melepas kepergian orang itu.

Virgo: A Kind of Magic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang