💐 Oxalis

82 22 25
                                    

Verena terdiam lama begitu mendengar kisah masa lalu Gareth. Terlalu banyak informasi yang ia terima dalam waktu bersamaan sehingga otaknya bingung bagaimana harus merespon. Fakta bahwa Gareth membunuh Galen tidak berubah, dan ia tidak mau mempercayainya. Andai ia tak mendengar kisah Gareth mungkin kini ia akan memaki pria itu sambil mencakar wajahnya.

Setetes demi setetes air mata terus berjatuhan membasahi pipi. Verena terisak pelan dalam pelukan Anne.

“Aku tahu kata maaf tak akan membuat Galen kembali padamu, tapi aku tetap ingin meminta maaf karena gara-gara aku kau harus mengalami hal seperti ini.”

Verena tak menjawab. 

“Verena, kuharap aku bisa melakukan sesuatu sebelum aku pergi, tapi aku sadar kini kau pasti sangat membenciku.” Gareth berdiri bersiap pergi. “Sekali lagi maaf, dan semoga kau bisa melupakan kami dan mencari kebahagiaanmu yang lain.”

Setelah itu Gareth pergi tanpa sekali pun menoleh lagi ke belakang. Meninggalkan Verena yang meraung menolak kenyataan kekasihnya telah tiada. Anne terus di sisinya, memeluknya erat meski ia tak sepenuhnya bisa mengerti apa yang tengah dirasakan majikannya. Bagaimana pun dia hanya robot.

Verena berhenti menangis, melamun, kemudian menangis lagi. Terus begitu berulang-ulang sampai waktu sudah lewat dari tengah malam. Ia lelah, tapi matanya tak mau terpejam karena begitu memejamkan mata ia akan kembali melihat adegan Galen yang sekarat di hadapan Gareth. Verena tak bisa menghilangkan bayangan itu dari kepalanya seolah ia telah menyaksikannya langsung, bukan mencuri ingatan Gareth. Verena menyeka air matanya yang kembali membasahi pipi ketika tiba-tiba saja terdengar suara dentuman yang begitu keras disusul getaran hebat di setiap sudut rumahnya yang menyebabkan beberapa barangnya jatuh dan pecah ke atas lantai.

Wanita itu otomatis menegakkan badan dan menatap Anne yang dengan sigap berdiri. Smartwatch yang tertempel di tubuh Anne menyala, menampilkan informasi gempa yang baru saja terjadi.

Verena pikir gempa itu akan segera berhenti, tapi getaran berlangsung lebih lama dan mulai menyebabkan suara mengerikan dari jendela. Wanita itu mengerjap, instingnya mengatakan kalau ia harus keluar rumah. Namun Anne malah menyeretnya menuju pintu belakang dan memaksa masuk ke dalam rumah kaca. Verena seketika melotot.

“Anne, apa yang kau lakukan? Kita harus keluar bukan malah masuk ke dalam rumah kaca yang jauh lebih berbahaya?!” Verena menarik tangannya dari genggaman Anne, tapi kekuatannya terlalu lemah. Ia kehabisan tenaga karena menangis.

“Anne!” bentak Verena panik. Getaran itu masih terasa, malah lebih kencang dari sebelumnya. Kepala Verena jadi pusing karenanya. Ditambah sekarang ia mendengar suara alarm peringatan darurat yang meraung-raung memekakkan telinga. Sebuah notifikasi muncul lagi dari smartwatch yang tertanam di lengan Anne.

Peringatan!
Pecahan asteroid terlihat di segala penjuru langit Hiddenland.

“Asteroid? Yang benar saja!” Detak jantung Verena mulai bertambah cepat. “Apa yang dilakukan orang-orang di lembaga antariksa itu sehingga tidak ada pemberitahuan apa-apa?”

Ia kesal sekaligus ketakutan. Bagaimana jika tiba-tiba ada asteroid yang menimpanya? Verena mendongkak menatap sekeliling rumah kaca.

“Apa tidak ada pemberitahuan untuk evakuasi?”

“Tidak ada,” jawab Anne. “Nona tunggu di sini saja. Ini adalah tempat paling aman untuk nona.”

Verena menatap Anne sangsi. Seumur-umur ia baru pertama kali mendengar kalau rumah kaca bisa dijadikan tempat berlindung. Iya, rumah kaca. Benar-benar rumah kaca bukan bunker!

Ditengah kepanikannya, akhirnya gempa berhenti. Namun tiba-tiba terdengar suara gaduh seperti bebatuan yang berjatuhan. Kemungkinan terjadi longsor di sekitar gunung Bearbern. Itu sudah biasa, Verena tak asing dengan suara itu.

Virgo: A Kind of Magic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang