“Kapan Luke akan pulang?”
“Belum tahu, tapi dia sudah berjanji akan pulang sebelum ulang tahunnya jadi mungkin sekitar tanggal 3 atau 4,” jawab Verena lalu kembali menyuapkan sepotong apel ke dalam mulutnya.
Gareth diam merenung. Ia akan pergi tanggal 2 pagi jadi sebelum itu ia harus sudah menyelesaikan urusannya dengan Verena. Masih ada lima hari lagi untuk mencari tahu soal kekuatan wanita itu. Sebenarnya Gareth tak berniat macam-macam, ia murni hanya penasaran. Seumur-umur baru kali ini ia mendengar seorang manusia memiliki kekuatan.
“Nah, mari kita mulai.” Verena meletakkan piring kosong ke atas meja lalu bergeser menghadap Gareth. Ia duduk bersila di atas sofa, dengan beberapa tangkai bunga peony di pangkuannya.
“Kau sungguh ingin melakukannya? Apa tubuhmu akan baik-baik saja?”
Verena tersenyum melihat raut khawatir dari wajah kekasihnya. “Kau tidak usah khawatir, aku baik-baik saja.”
“Baiklah.” Gareth ikut bersila. Kini mereka duduk berhadapan-hadapan. Verena berniat melakukan percobaan lagi. Ia penasaran dengan bayangan apa yang ia lihat tempo hari. Kalau itu benar-benar ingatan Gateth, ia pasti bisa melihatnya lagi.
“Kalau kau merasa sakit atau semacamnya, kau harus berhenti.”
“Iya aku mengerti.” Verena menyodorkan setangkai peony. Mereka kemudian memegangnya bersama-sama.
Selama beberapa menit mereka hanya diam memperhatikan bunga itu yang perlahan layu lalu segar kembali dalam hitungan detik. Rasa cemas yang dirasakan Gareth mulai berkurang, ia juga menyadari rasa tak nyamannya pada Verena sudah hilang, dan kini ia bisa merasakan kebencian dan amarahnya luruh perlahan. Gareth tak bisa menjelaskannya dengan pasti, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan.
Gareth mengangkat wajahnya untuk menatap Verena yang entah sejak kapan menutup kedua matanya. Ia bisa melihat wanita itu mengernyitkan dahi.
Verena bilang ia bisa memulihkan bunga yang layu karena tercemar aura negatif dengan cara menyerap aura itu ke dalam tubuhnya. Gareth yakin Verena juga bisa merasakan kebencian yang terpendam dalam hatinya selama ini, tapi Verena tak bertanya apapun soal itu. Entah karena dia tak peduli atau dia tak berani menanyakannya.
Kau sungguh beruntung memiliki wanita seperti Verena.
Gareth membatin pilu. Dalam hal apapun ia selalu merasa di bawah Galen. Ia tak pernah bisa menandingi kakak kembarnya itu meski ia sudah berusaha sekuat tenaga. Galen terlalu istimewa bagi dirinya yang bukan apa-apa.
Rasa sesak itu tiba-tiba kembali setiap ia mengingat Galen, tapi kemudian mereda cepat. Pasti karena bunga peony itu yang menyerapnya.
Sementara kerutan di dahi Verena semakin bertambah, ia tiba-tiba merasa sesak seperti ketika ia mengingat kenangan buruk. Verena mencoba mengatur napas dan menenangkan segala macam perasaan Gareth yang berkecamuk di hatinya.
Lalu bayangan itu kembali muncul.
Sebuah botol kecil berisi cairan yang dituangkan beberapa tetes ke dalam makanan di atas meja. Kali ini ia melihat tangan orang lain menggebrak meja, lalu tangan lain yang mengepal. Suara denting piring masih terdengar seperti sebelumnya, pun dengan suara kunyahan dan tegukan disusul detakan jantung yang kian melemah sampai akhirnya tak terdengar lagi.
Dua pasang tangan terkulai di bawah meja. Sepasang tangan lainnya masih memegang alat makan dan tetap mengunyah sesuatu dalam mulutnya. Verena tak bisa melihat siapa mereka, wajahnya buram seperti sedang menonton sebuah film yang sengaja disensor.
Tangan Verena mulai mendingin, ia mengeratkan genggamannya pada tangan Gareth dan juga tangkai peony itu. Verena pikir ia bisa melihat lebih, tapi yang terjadi bayangan itu malah terulang dari awal. Verena penasaran siapa orang-orang dalam bayangan itu. Ia ingin mengetahuinya, tapi ia tak tahu bagaimana caranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virgo: A Kind of Magic [END]
FantastikSudah sejak lama mereka melupakan keberadaan Dewa, tapi kini mereka percaya kalau Happy Nature adalah rumah Dewa, lebih tepatnya Dewa kebahagiaan. Konon siapapun yang membeli bunga dari Happy Nature, dia akan merasakan kehangatan dan ketenangan. Rom...