“Ada apa Ve, kau terlihat gelisah,” tanya Luke sembari menyantap puding semangka yang dibuat Verena kemarin.
“Galen belum menghubungiku sama sekali.” Verena mondar mandir di depan meja makan.
“Mungkin dia sibuk atau ponselnya kehabisan daya.”
“Tidak biasanya Galen seperti ini.”
“Oh, ayolah Ve, jangan terlalu posesif begitu. Tunggu saja nanti juga dia pasti menghubungimu.”
Langkah Verena berhenti. Dia menatap Luke, yang ditatap malah asik streaming bola sambil terus melahap puding.
“Perasaanku tidak enak.”
“Kau hanya overthingking. Coba tenangkan dirimu,” jawab lelaki itu enteng. Kali ini tanpa melihat ke arah Verena.
“Kalau ada apa-apa padanya bagaimana?”
“Memang apa yang bisa terjadi? Dia sudah sampai di Britia dengan selamat bukan? Bisa jadi dia terlalu asik mengobrol dengan kembarannya karena sudah lama tak bertemu lalu kelelahan dan tertidur tanpa sempat menghubungimu.”
“Kuharap hanya begitu.” Verena berjalan lesu dan menarik kursi di depan Luke.
“Dia bukan anak kecil Ve, dia seumuran denganmu, dia pasti tahu apa yang dia lakukan jadi berhentilah mengkhawatirkannya secara berlebihan.”
Verena merengut. Meski dia menuruti perkataan Luke, nyatanya sepanjang hari itu dia tidak bisa fokus bekerja.
Selesai memakan puding ia turun ke toko. Berjaga sambil menghela napas beberapa kali dan melirik smartwatch maupun ponselnya, berharap ada panggilan masuk atau setidaknya satu pesan dari Galen.
Pintu toko terbuka. Seorang pemuda masuk, ia terlihat ragu saat berjalan ke arah Ve.
“Selamat datang.” Ve menyimpan ponsel dan menyapanya ramah.
“Bunga,” katanya. “Bunga ini dari sini bukan?” Ia mengeluarkan setangkai kecil bunga krisan putih. “Seseorang meletakkan buket bunga di dekat tebing, karena penasaran saya melihatnya dan tertarik dengan bunga ini.”
“Tebing?”
“Ya. Tebing di Gunung Bearbern.”
Verena mengernyit. Seingatnya pelanggan terakhir yang membeli bunga krisan adalah wanita murung itu, wanita dengan coat hijau yang berniat mengakhiri hidupnya.
“Tolong tunggu sebentar.”
Verena membuka portal berita lokal. Ia membaca setiap judul berita beberapa hari belakangan, dan bernapas lega saat tak menemukan tajuk bunuh diri, meninggal ataupun terjatuh dari tebing. Akan jadi repot kalau wanita itu benar-benar mengakhiri hidupnya. Dia pasti akan menjadi trending topic di Longnightbyen yang masih melarang warganya meninggal dengan sengaja di tempat ini.
“Jadi anda ingin memesan buket bunga krisan putih?”
“Ya.” Tatapannya menyapu setiap sudut toko. Sepertinya ia baru pertama kali ke Happy Nature.
“Anda ingin memberikannya kepada seseorang?” Ditanya seperti itu refleks tatapannya kembali mengatah pada Verena lalu ia mengangguk ragu-ragu.
“Saya ingin menjenguk teman saya yang sedang dirawat di rumah sakit.”
Raut wajah Verena langsung berubah, dan pemuda itu sepertinya mengerti arti dari perubahan wajahnya.
“Dia tidak sakit parah. Hanya cedera karena terjatuh saat bermain ski.”
“Ski?”
“Ya. Dia ingin menjadi atlet seperti seseorang bernama Gean, Gard ya semacam itu.”
“Galen?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Virgo: A Kind of Magic [END]
FantasySudah sejak lama mereka melupakan keberadaan Dewa, tapi kini mereka percaya kalau Happy Nature adalah rumah Dewa, lebih tepatnya Dewa kebahagiaan. Konon siapapun yang membeli bunga dari Happy Nature, dia akan merasakan kehangatan dan ketenangan. Rom...
![Virgo: A Kind of Magic [END]](https://img.wattpad.com/cover/339116919-64-k852708.jpg)