17

15 7 0
                                    

Terjadi perdebatan panjang sebelum ke lapangan sore harinya, bagaimana tidak Affan bersikeras ikut lapangan, semuanya langsung menolak keras, sampai terjadi perdebatan antara Affan, Chiko dan Dewa, namun hanya karena satu kalimat yang keluar dari mulut Ara membuat semua langsung terdiam, bahkan Affan tidak bisa membantah sama sekali.

"Diam, pak Affan tinggal, ingat k3 sangat di utamakan di dunia proyek, tahu k3 kan, pak Affan dan kalian berdua harusnya yang paling paham soal dunia proyek, kalian juga sudah dewasa jangan hanya karena masalah sepele yang kita sudah tahu pasti apa yang harus di lakukan menjadi perdebatan", ucap Ara membuat semuanya langsung bungkam.

Dewa dan Chiko tersenyum puas melihat kekalahan Affan, Sisil dkk malah melongo melihat ketegasan dari Ara yang akhirnya semakin hari semakin mengagumkan, semuanya langsung keluar rumah kecuali Affan begitu pun dengan Ara namun langkah Ara terhenti menoleh menatap Affan.

"Pak Affan istirahat saja, besok bisa ikut lagi ke lapangan, oh iya sebelum istirahat pak Affan mandi dulu air hangatnya sudah aku siapkan di kamar mandi, cepat sembuh Affan", ucap Ara lembut menghilangkan sebutan pak di akhir kata.

Senyuman Affan mengembang di wajah tampannya tanpa bisa di cegah, dengan cepat Affan bergegas melaksanakan perintah dari Ara.

Ara bergegas menuju lokasi di mana ada kendala, terlihat Ara memijit pelipis, sesekali menghela nafas, "gimana Ra?", tanya Gilang.

"Bang Chiko, dan Dewa mana?", tanya Ara balik tanpa menjawab pertanyaan Gilang

"Itu di sana", tunjuk Gilang ke arah Chiko dan Dewa.

"Tolong panggil keduanya ada hal yang mau aku diskusikan", ujar Ara melangkah mencari tempat teduh.

Gilang bergegas memanggil Chiko dan Dewa, melihat ketiganya melangkah menuju tempat Ara duduk, Randy, Bagas dan Sisil secara naruli langsung mengikuti.

"Ada apa dek?", tanya Chiko duduk di samping Ara.

"Bagaimana menurut abang dan Dewa soal kendala di sana?", tanya Ara menunjuk ke arah samping.

"Jujur saja kalau saya bingung Ra, gimana ya, memang saya sudah biasa turun lapangan tapi tidak pernah fokus sama hal yang seperti ini", ujar Dewa jujur.

"Lah Dewa aja bingung Ra apa lagi aku", celetuk Sisil menjadikan helm sebagai kipas.

Yang lain hanya diam sama bingungnya dengan Dewa dan Sisil.

"Aku kefikiran satu cara cuman takutnya tidak di setujui gimana bagusnya ya?", tanya Ara menatap mereka satu persatu.

"Aku punya usulan, Ra kamu telphone pak Affan saja sampaikan usulan kamu itu apa dia setuju atau tidak, aku sudah mengirim beberapa dokumentasi, kamu tinggal berdiskusi dengan dia", ujar Randy, semuanya tiba-tiba langsung mengangguk kompak meski sesekali berdehem membuat Ara menautkan alis bingung.

"Yaudah, aku telphone pak Affan saja", ujar Ara pasrah.

"Kamu diskusi sama pak Affan dulu nanti kabari hasilnya kami lanjut kerja dulu ya", ucap Bagas, Ara mengangguk membiarkan mereka kembali keliling mengawasi pekerjaan sesekali mengambil dokumentasi.

Ara masih terdiam menatap layar ponselnya menatap nama Affan di sana, dengan helaan nafas panjang Ara menekan tombol telephon.

"Halo, Assalamualaikum, kenapa Ra?".

Ara mengigit bibir bawahnya merasa aneh sendiri baru kali ini Ara menephone Affan langsung.

"Waalaikumusalam, Maaf mengganggu waktu istirahat pak Affan, gini soal kendala di lapangan sesuai dokumentasi yang di kirim Randy, aku mau memberi usulan pak, tinggal pak Affan menyetujui atau tidak", ujar Ara menahan nafas, wajahnya kini sudah semerah tomat busuk, dengan tangan Ara mencoba mengipasi wajahnya yang semakin terasa panas.

"Saya sudah melihat dokumentasi yang di kirim Randy, memang itu agak fatal, kalau kamu ada usulan langsung saja jelaskan Ra".

"Hm gini pak, sesuai dengan perencanaan, kita mengambil kedalaman maksimal 3 meter saja sesuai dengan hasil sondir pertama, jadi bagaimana pak jika yang terlanjur sampai di kedalaman mencapai 5 meter kita timbun ulang menggunakan tanah galian yang sementara di gali di ujung pak", jelas Ara memberi usulan.

Ara menuatkan alis, tidak ada jawaban dari Affan, sepertinya Affan sedang berfikir soal usulan Ara.

"Itu bisa di pertimbangkan Ra, tapi untuk pengerjaannya biar besok saja, saya akan meninjau langsung tanah galian cocok di jadikan tanah timbunan atau tidak", jawab Affan di seberang sana.

"Baik pak, kalau begitu aku tutup telphonya", ujar Ara.

"Iya, kamu hati-hati, cepat pulang".

Tut tut tut

Nafas Ara tercekat mendengar ucapan Affan tatapannya masih menatap ponselnya yang sudah gelap, Ara menggelengkan kepala menguasai dirinya "Ra jangan baper", gumamnya menekan kedua pipinya.

Ara menghembuskan nafas mendekat ke arah yang lain menyampaikan pesan Affan soal kendala pekerjaan.

"Kalau gitu pulang yuk, sudah jam lima nih", ucap Sisil menatap jam tangannya.

"Yuk say pulang", ujar Dewa langsung merangkul Sisil yang langsung di tepis kasar.

"Panas, ngak usah dekat-dekat", omel Sisil.

"Mampus lo, dasar modus", ejek Chiko, Dewa langsung menatap Chiko dengan tatapan membunuh.

"Asik nih, yang semakin gencar dalam berjuang", ejek Bagas, Sisil langsung melotot ke arah Bagas.

"Yang jomblo diam aja", ucap Randy.

Gelak tawa terdengar mengiringi perjalanan mereka.

"Contoh noh si Chiko, cewek dimana-mana", celetuk Dewa.

Chiko yang berjalan di depan merangkul Ara langsung menoleh dengan tinju mengudara.

"Bacot bangat", umpat Chiko.

"Bagi satu napa Chik", celetuk Bagas.

"Bagi-bagi, kamu kira perempuan itu barang hah", amuk Sisil.

Bagas meringis, di sertai gelak tawa dari yang lain.

"Akhirnya sampai", ucap Gilang

Affan keluar tatapannya langsung mengarah pada Ara yang sedang membuka sepatu safetynya "sudah sembuh total bos?", tanya Dewa.

Affan menoleh menganggukan kepala "gue cuma demam biasa Wa", ucap Affan.

"Yuk masuk, bersih-bersih dulu kalian", ucap Sisil mengapit tangan Ara berjalan menuju kamar.

Ara dan Sisil kini sudah ada di kamar bergantian membersihkan tubuh mereka, setelah selesai bukannya keluar keduanya berbaring di tempat tidur masing-masing menunggu waktu sholat.

"Ra?", panggil Sisil dengan suara lirih.

"Kenapa ? Ada masalah?", tanya Ara menoleh.

"Jujur aku masih ada rasa sama Dewa tapi di saat aku mulai percaya lagi dengan dia, aku tidak sengaja mendengar dia telphonan manggilnya sayang-sayangan", cerita Sisil dengan mata berkaca-kaca.

"Langsung tanya langsung saja Sil, kalau memang dia serius, dia akan berkata jujur pada kamu, tapi kalau Dewa hanya main-main dia akan mengelak", ucap Ara.

"Malu Ra", rengek Sisil.

"Gini Sil, kamu hanya memastikan  saja, jika dia ingin berjuang lebih baik jujur dari sekarang, jika hanya ingin main-main suruh berhenti seolah-olah ingin berjuang, kamu hanya mencari kepastian padanya Sil, kamu sudah memberi dia kesempatan untuk berjuang, jadi tidak ada salahnya kamu meminta kepastian dari tindakan Dewa selama ini sama kamu".

"Kita sudab dewasa Sil, bukan lagi waktunya untuk main-main", lanjut Ara, Sisil mengangguk tersenyum.

Obrolan keduanya berhenti mendengar suara azan berkumandang.

Ordinary Love Story (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang