Siangnya Ara dan Sisil tidak kembali ke lapangan, keduanya masih sibuk mengisi kosan yang belum lengkap seperti keperluan dapur, semua biaya sudah Sisil laporkan pada perusahaan, pak Baskoro tanpa pikir panjang memberi persetujuan untuk langsung mengirikan uang keperluan tempat tinggal mereka, terutama sewa motor mereka selama di sini.
Sedangkan di lapangan, team jadi kacau mereka kini bekerja sendiri-sendiri Adel yang memang baru sampai memilih istirahat di rumah, Affan hanya diam menatap anggotanya yang kini sibuk masing-masing meski tetap mengerjakan pekerjaan seperti biasanya namun kini mereka melakukan sendiri-sendiri.
"Ara sama Sisil ngak datang?", tanya Gilang mendekat ke arah Randy, Bagas ikut mendekat.
"Ngak mungkin bisa datang kan, aku yakin kosan mereka masih kosong", ujar Bagas, diam-diam Affan mendengar percakapan ketiganya.
"Aneh ngak sih, kita sama-sama selama tiga bulan tiba-tiba pisah seperti ini, apa lagi kita masih punya beberapa bulan kerja di sini, bahkan bisa sampai tahunan", celetuh Randy menghela nafas.
"Aku ngak tau pasti tapi melihat tatapan Ara tadi kenapa aku ikut sakit ya", lirih Bagas, Gilang mengatupkan bibir lagi-lagi muncul rasa bersalah di hatinya.
Mendengar ucapan Bagas hati Affan seperti di remas, nafasnya tercekat.
Chiko dan Dewa hanya diam sesekali menegur para tukang, emosi keduanya masih meluap-luap bahkan cara mereka menegur tukang tidak seperti biasanya.
"WOY PAK DENGAR APA YANG SAYA UCAPKAN NGAK", teriak Chiko tiba-tiba sudah tidak bisa menahan emosinya.
Affan, Randy, Gilang dan Bagas langsung lari mendekat.
"Pak Chiko saja yang ngarahin plinplan kita sudah melakukan maunya pak Chiko", ucap salah satu tukang ikut tersulut apa lagi matahari masih begitu terik.
"Bacot anjing", emosi Chiko hampir meninju tukang tersebut namun langsung di hadang oleh Dewa.
"Chik, woy tahan emosi lo", bentak Dewa.
Bugh
Satu pukulan mengenai rahang Chiko sampai tersungkur, Dewa yang tadi kewalahan menahan Chiko yang emosi ikut tersulut sampai memukul.
"BERHENTI", teriak Affan
Chiko berdiri menatap sinis ke arah Dewa dan Affan, dengan perasaan kacau Chiko beranjak menjauh, melihat itu Randy langsung berlari mengikuti hendak menenangkan.
Chiko kini duduk jauh dari mereka di bawa pohon teduh, sesekali menghembuskan nafas panjang "Chik", panggil Randy.
"Aku tahu kamu emosi tapi tidak seharusnya masalah di rumah terbawa ke lapangan", ujar Randy menepuk punggung Chiko
"Lo ngak tau perasaan gue Ran", nah kini Chiko menggunakan lo gue pada Randy, padahal panggilan itu biasanya hanya di gunakan pada Dewa dan Affan.
"Kamu bisa cerita", ucap Randy pelan.
Chiko mengusap wajahnya kasar "lo tau gue dari SMA merasa bersalah pada Ara, gue ingin menebus kesalahan gue dan ayah padanya, tiga bulan terakhir gue merasa senang sudah tidak ada sekat antara gue dan Ara tapi tadi di ruang makan gue melihat tatapan itu lagi Ran, tatapan yang sama saat Ara tahu siapa gue di hidupnya, saat Ara tau gue saudara tirinya", ucap Chiko menggebu-gebu kini air matanya keluar membasahi pipi, tidak peduli di cap seperti apa.
Randy mengatupkan bibir mendengar ungkapan Chiko, keduanya tidak menyadari kehadiran Affan dan Gilang di dekat mereka, lagi-lagi perasaan bersalah semakin besar di hati Gilang padahal bukan dia yang salah.
"Akhirnya sudah selesai, capek bagat", keluh Sisil menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Di sini adem ya, ngak panas padahal ngak ada kipas atau ac, di luar mataharinya juga terik", ucap Ara, Sisil mengangguk mengiyakan.
"Pak Baskoro baik bangat langsung menyetujui permintaan kita", ujar Sisil.
"Tentulah, pak Baskoro pasti sudah tahu situasinya, ngak mungkin pusat tidak memberi tahu tentang Adel yang harus tinggal untuk mengawasi Affan", ucap Ara.
"Jujur aku bingung harus bertingkah bagaimana besok di lapangan, aku terlanjur kecewa sama mereka, harusnya mereka memberi solusi soal kita tapi nyatanya mereka hanya diam", keluh Sisil
"Sudahlah Sil, bertingkah biasa saja, walaupun mungkin sakit apa lagi kita sudah sangat dekat, tapi kita tetap harus profesional dalam bekerja", ucap Ara, Sisil menganggukan kepala setuju.
"Aku mandi dulu ya", izin Sisil langsung beranjak menuju kamar mandi.
Ara yang masih duduk di tempat tidurnya meneliti kamar mereka yang lebih sempit di bandingkan kamar mereka di rumah sewaan tapi Ara tetap bersyukur setidaknya kamar ini bisa masuk dua tempat tidur.
Ara tersentak kaget merasakan ponselnya bergetar, dengan alis terangkat Ara menatap beberapa pesan masuk, dari Randy, Bagas, Gilang, Chiko, Affan bahkan Dewa yang bertanya soal Sisil.
Dengan cepat Ara langsung membalas pesan Dewa agar tidak gelisah mencari Sisil, kini Ara membalas pesan Chiko, Bagas, Randy dan Gilang tanpa membuka pesan Affan sama sekali, Ara benar-benar harus menjauh agar perasaannya bisa hilang, walaupun itu mustahil.
"Sil, Dewa cari kamu, balas gih pesannya", ucap Ara melihat Sisil mendekat dengan handuk di atas kepalanya.
"Iya iya", ujar Sisil terkekeh langsung mengambil ponselnya dan membalas pesan dari Dewa tanpa membalas pesan dari yang lainnya.
"Kita mau makan apa ya Ra?", tanya Sisil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Ngak tau, kata ibu Rini kita ngak usah pusing nanti ibu Rini bawa makanan ke sini", ucap Ara.
"Ngak ada gunanya dong ada kompor", kekeh Sisil.
"Siapa bilang ngak ada gunanya mau bikin kopi atau cemilan kan harus pake kompor, tadi aku sudah minta sama ibu Rini bawa bahan-bahan untuk bikin cemilan", jelas Ara.
Sisil menganggukan kepala mengerti.
Pukul lima tepat Affan dan yang lainnya kembali ke rumah, terlihat Adel sudah menunggu mereka di teras, Chiko dan Dewa tentu menatap sinis ke arah Adel, tidak ada perkataan dari keduanya, Dewa dan Chiko langsung beranjak masuk ke dalam kamar.
"Suka tempatnya?", tanya Affan, Adel hanya mengangguk sebagai jawaban, Adel menatap Gilang dengan alis terangkat, terlihat tatapan Gilang padanya berbeda dari biasanya.
"Lang", panggil Adel saat yang lain sudah masuk ke dalam rumah.
"Sudah Del, aku mau bersih-bersih dulu", ujar Gilang menjauh, Adel dengan cepat meraih pergelangan tangan Gilang.
"Maaf kamu harus masuk dalam situasi yang rumit gara-gara kesalahan aku di masalalu", ucap Adel merasa bersalah menatap punggung Gilang yang enggan menoleh.
"Hm ya", ucap Gilang menarik tangannya melangkah menuju kamar,
Adel terdiam duduk di kursi teras menghela nafas, air matanya kini mengalir membasahi pipinya, karena keserakahan di masa lalu Adel harus menghadapi situasi yang rumit di masa kini, karena keegoisan di masa lalu kini Adel harus menanggung akibatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ordinary Love Story (Selesai)
Ficção AdolescenteLangsung baca kuy. Kisah Ara dan Affan yang bertemu kembali di dunia kerja.