22

14 7 0
                                    

Panas matahari menambah suasana panas di antara mereka terlihat Affan menatap tajam ke arah Ara dan Sisil menahan amarah karena penolakan Ara "maksud kamu apa hah?, kamu di sini hanya karyawan ingat itu", marah Affan sampai menunjuk ke arah Ara.

Ara tertegun namun senyumannya tetap menghiasi wajahnya, sudah terbiasa mendapat cacian mungkin, "salahnya di mana pak Affan yang terhormat?", tanya Ara lembut namun menusuk.

"Kalian berdua harus mendegar perintah saya, paham!!", omel Affan.

Ara dan Sisil lagi-lagi saling pandang "kami sudah melakukan sesuai perintah pak, bukannya sudah ada ibu Adel di sini yang lebih paham di bandingkan Ara", ujar Sisil kini nampak terpancing.

"Kita di sini team, jika ada yang perlu di bahas kita harus ikut semua", ucap Adel menengahi.

"Paham ibu yang gerhormat, tapi sudah ada anda yang lebih paham, jadi kami mengerjakan pekerjaan yang lebih di kejar waktu dulu", ucap Sisil.

"Jangan kayak anak kecil kalian berdua, hanya karena saya meminta kalian pindah, kalian sampai marah seperti anak kecil begini", omel Affan semakin terpancing.

Sisil yang hendak membalas berhenti melihat cekalan Ara di tangannya dan gelengan Ara, agar membiarkan Affan mengeluarkan amarahnya.

"Saya kira kalian berubah ternyata masih sama saat remaja, tetap jadi Sisil dan Adara yang pecundang", umpat Affan, Chiko mengepalkan tangan mendengar umpatan Affan, Dewa yang melihat itu langsung menahan tangan Chiko.

Sisil mengepalkan tangan, menatap tajam ke arah Affan, namun Sisil mengurungkan niat untuk mengamuk karena genggaman Ara yang menahanya.

"Dan kamu Ara, kamu cemburu karena kedatangan Adel sampai bersikap seperti itu, kamu merasa tersaingi dengan Adel, bukan kah sudah jelas Adel jauh di atas kamu, dan perasaan kamu itu urusan kamu kenapa di bawa ke tempat kerja, jangan jadi perempuan murahan hanya karena perasaan suka membuat pekerjaan jadi kacau, ck cari perhatian kamu pada saya hah, mau di bujuk ck, kayak pelacur".

Bugh

Satu pukulan telak dari Chiko membuat Affan tersungkur meringis, terlihat Ara mengigit bibir bawahnya menahan tangis, kata murahan dan pelacur terngiang-ngiang dalam kepalanya sekarang.

Chiko yang hendak melayangkan tinjunya lagi tertahan melihat Ara menangkap tanganya, sekuat tenaga Ara menahan tangisnya sekarang, semua menegang di tempat, Randy dan Bagas sampai melongo mengetahui satu fakta tentang perasaan Ara pada Affan.

"Sudah bang", lirih Ara.

Ara menghela nafas menahan sakit di hatinya, perasaan yang selama ini Ara simpan rapi harus di ketahui oleh yang lainnya membuat perasaan Ara semakin hancur, dengan lemas Ara menatap Affan yang berdiri di bantu Gilang.

"Apa yang perlu kita bahas pak Affan, cepat katakan pekerjaan saya dengan Sisil masih banyak pak, permintaan pak Baskoro harus kami selesaikan karena hasil tes harus di kirim paling lambat jam lima sore nanti", getar Ara dalam suaranya.

Affan terdiam tidak mampu berkata lagi, Ara menoleh menatap satu tukang yang hanya diam menonton "ada kendala apa pak ?", tanya Ara masih bergetar.

Kepalan tangan Ara semakin menguat menahan getaran dan tangisannya, dadanya terlihat kempang kempis, nafasnya tertahan agar tangisannya tidak pecah, Sisil yang melihat kondisi Ara sudah tidak sanggup, air matanya sudah mengalir membasahi pipi, begitupun dengan Adel yang ikut merasakan sakit dengan ucapan Affan.

Tukang itu menghela nafas, "begini bu, kita bingung proses penimbunanya bagaimana?", tanya tukang itu menatap Ara.

Ara menunduk, mengontrol dirinya agar tidak terisak, harus profesional dalam bekerja bukan, ini masalah pribadinya, urusan nangis nanti saja, "gini pak, bapak buat timbunan per 20 cm sesuai ketentuan setelah itu gunakan bomak untuk memadatkan, jika tanah timbunan kurang kita bisa ambil dari lokasi yang lain", jelas Ara lemah sambil menunduk.

Tukang itu mengangguk mengerti, pergi menjauh melanjutkan pekerjaan yang tertunda "Sil, balik ke lab yuk, kerjaan kita banyak kita harus kirim file ke pak Baskoro", ucap Ara seperti bisikan, Chiko menahan pergelangan tangan Ara hendak menarik kedalam pelukannya namun Ara lebih dulu menepisnya.

"Bang duluan ya, masih banyak kerjaan, ini sudah waktunya istirahat abang pulang makan dulu, Ara sama Sisil lanjut dulu", lirih Ara tanpa menoleh

Sampai di lab tangisan Ara pecah seketika, untung lab kosong karena sudah waktunya istirahat "hiks", Sisil berjongkok menarik Ara kedalam pelukannya membiarkan Ara mengeluarkan rasa sakitnya lewat tangisan, setengah jam Ara menangis di dalam pelukan Sisil akhirnya tangisannya mereda, mata Ara sembab, hidungnya sampai merah.

"Sudah tenang?", tanya Sisil lembut.

Ara mengangguk "makasih", ujar Ara mengusap sisa air matanya.

"Kita makan yuk, di depan ada makanan, tadi ibu Rini datang", ujar Sisil menarik Ara keluar.

"Kenapa ibu Rini ngak masuk?", tanya Ara bingung, Sisil terkekeh "aku memberi kode nasinya di taro di luar saja", celetuk Sisil, Ara mengangguk langsung mengambil alih makananya.

Berbeda dengan Sisil dan Ara yang kini makan dengan lahap, suasa di rumah begitu tegang tidak ada percakapan di antara mereka, terlalu shok dengan kejadian di lapangan.

"Bu, sudah ada makanan untuk Ara dan Sisil?", tanya Randy, ibu Rini mendekat membawa minuman.

"Sudah dek, tapi ibu tadi bawanya sampai di luar saja, Ara nangis jadi Sisil memberi kode agar nasinya di simpan diluar saja", lapor ibu Rini.

"Ara nangis?", tanya Chiko kembali emosi.

"Iya dek, Ara nangis, ibu ngak tau ada masalah apa, tapi tangisan Ara bikin ibu ikut sakit dengarnya", cerita ibu Rini, Chiko menatap Affan tajam langsung beranjak tanpa menghabiskan makanan.

Dengan perasaan khawatir Chiko berjalan menuju lapangan, sesekali berlari, melihat Ara dan Sisil duduk di depan lab Chiko langsung berlari menubruk tubuh Ara, memeluknya erat.

Ara yang mendapat serangan tiba-tiba memekik kaget.

"Abaaanggg", teriak Ara.

"Kamu ngak apa-apa?", tanya Chiko lembut menusap rambut Ara.

"Aman bang", ucap Ara melepas pelukan Chiko menatap dengan senyuman.

Chiko meringis melihat mata sembab Ara "jangan pura-pura kuat di hadapan abang, dek", ucap Chiko.

"Serius Ara sudah ngak apa-apa, tadi sudah nangis", jujur Ara.

Chiko meringis melihat tingkah menggemaskan Ara.

"Sudah, sana, itu anak-anak sudah datang, malas liat wajah mereka", celetuk Sisil menunjuk ke arah Affan dan yang lain sudah datang.

Ara dan Sisil kembali masuk ke lab melanjutkan pekerjaan, sedangkan Chiko mendekat kearah Affan dan yang lain "chik", panggil Affan, Chiko menoleh dengan alis terangkat.

"Apa ? ada yang perlu di bahas soal kerjaan kalau ngak ada gue langsung lanjutin pekerjaan gue yang tertunda", ucap Chiko langsung beranjak melihat Affan hanya diam.

"Semuanya butuh waktu Fan, tapi jujur gue juga kecewa apa lagi Chiko, yang lo hina saudara Chiko, Fan", ucap Dewa ikut beranjak.

Adel dan Gilang yang berdiri di belangkang saling berpandangan, Gilang menganggukan kepala tersenyum meyakinkan, sebelum menjauh Gilang mengusap lembut rambut Adel.

"Fan, aku mau ngomong sama kamu".

Ordinary Love Story (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang