Chapter(18) Penampakan

11 7 5
                                    


Di bawah pohon yang besar, tepat di bagian belakang pohon itu, terdapat Rai dan Runa yang masih berdiri belum mengerjakan tugas mereka. Sejak Rai mengatakan bahwa mereka akan menggali tanah, Runa menggerutu tak jelas.

"Pokoknya gue nggak mau, yang bener aja kita gali tanah pake tangan? Kuku cantik gue bisa kotor dan rusak," omel Runa, lantas hendak berlalu meninggalkan Rai, namun tak jadi saat tangannya ditarik lumayan kuat oleh Rai sampai menabrak dada bidang cowok itu. Runa sedikit kaget dengan tarikan Rai. Perlahan, gadis itu mendongak untuk menatap Rai yang lebih tinggi darinya.

Mata coklat yang menatapnya datar. Ingin rasanya Runa mencakar wajah tampan Rai yang sangat menyebalkan di mata Runa. Runa memang akui wajah Rai yang tampan. Rai sedikit memundurkan tubuhnya, membuat jarak agar tidak terlalu dekat dengan Runa. Runa hendak pergi, namun tangannya kembali ditarik pelan.

"Apa lagi sih?" sentak Runa, menatap Rai kesal, sedangkan yang ditatap hanya balik menatap Runa datar.

"Kerja!" titah Rai.

"Nggak mau," tolak Runa.

"Yang bener aja, masa pake tangan," lanjut Runa.

"Siapa bilang?"

"Lo."

"Kapan?"

Seketika, Runa speechless. Jika diingat-ingat lagi, Rai memang tidak bilang bahwa mereka akan menggali tanah dengan tangan, namun karena tidak ada alat apapun yang bisa mereka gunakan untuk menggali tanah, jadi Runa menyimpulkan saja.

"Terus gimana?" tanya Runa. Bukannya menjawab, Rai justru celingak-celinguk kemudian berjalan ke arah semak-semak, sedangkan Runa tidak mengikuti Rai, lebih memilih menunggu di tempatnya saat ini sedang berdiri. Tak lama kemudian, datanglah Rai dengan membawa dua kayu kering lumayan tebal dengan ukuran tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu besar.

"Oh, gali tanah pake ini?" gumam Runa setelah Rai memberikannya satu kayu yang dibawanya.

"Emang bisa?" tanya Runa yang kurang yakin jika mereka dapat menggali tanah dengan sebatang kayu. Runa kira akan mendapatkan jawabannya yang pasti, nyatanya salah. Rai hanya mengangkat bahu sebagai tanda tidak tahu.

"Rambut lo," ucap Rai. Runa lantas menoleh ke arah Rai.

"Kenapa rambut gue?" tanya Runa yang tidak paham maksud Rai.

"Iket," balas Rai, namun tidak mendapat respons dari Runa, melainkan mendapati Runa yang mengerutkan dahinya seolah masih tidak mengerti.

Rai menghela napas. "Biar nggak gerah."

"Oh iya," Runa mengambil ikat rambut dari saku celananya, kemudian mengikat rambutnya.

Keduanya berjongkok untuk menggali tanah. Runa sedikit kaget saat pertama kali mencoba untuk menggali. Sebelumnya, Runa berpikir akan sulit karena tanahnya yang keras. Ternyata ia salah, salah besar. Nyatanya, tanah yang mereka gali tidaklah keras, memudahkan mereka untuk menggali tanah tersebut.

Mereka berdua terus menggali, entah telah berapa lama mereka menggali. Tanah yang awalnya datar kini telah menjadi lubang yang lumayan dalam. Keduanya yang awalnya berjongkok berbeda dengan sekarang yang telah duduk di tanah. Bulir-bulir keringat membasahi keduanya. Runa lebih dulu berhenti menggali, membuang asal kayu yang ia pegang, lalu sedikit memundurkan tubuhnya untuk bersender di pohon. Tak lama kemudian, Rai pun ikut berhenti setelah dirasa lubang yang ia gali telah cukup untuk mereka gunakan sebagai toilet.

Kini, keduanya bersender di pohon dengan posisi bersebelahan. Keduanya kompak memejamkan mata saat angin menerpa lembut permukaan wajah mereka.

***

Di lain tempat, terdapat Ansel dan Izel yang kini telah berada tepat di depan tumbuhan yang membuat mereka sangat bahagia. Tumbuhan yang mereka semua harapkan ada di pulau ini, yang dapat membantu mereka untuk pulang.

Ada yang tahu tumbuhan apa?

"Please bilang sama gue, Zel, kalo ini asli," ucap Ansel tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ansel menoleh ke arah Izel yang mengangguk padanya.

"KITA PULANG!" teriak Ansel senang, lantas mengangkat Izel. Izel terkejut dengan perlakuan Ansel, lantas mengalungkan tangannya pada leher Ansel, kemudian Ansel berputar-putar. Suara tertawa keluar dari mulut keduanya, tertawa yang begitu lepas tanpa beban.

"Ansel udah, pusing," pinta Izel yang telah merasa pusing. Ansel hendak memberhentikan, namun kepalanya yang juga merasa pusing membuatnya sulit untuk memberhentikannya. Dalam hitungan detik, keduanya terjatuh dengan posisi Ansel yang berada di bawah dan Izel yang berada di atasnya. Keduanya diam mematung.

Jarak mereka begitu dekat sampai Ansel dapat merasakan hembusan napas Izel. Suara kicauan burung membuat keduanya tersadar, lantas Izel berdiri, begitupun dengan Ansel yang langsung berdiri setelah Izel bangkit. Keduanya terlihat salah tingkah.

Ansel terbatuk kecil, "Sorry, Zel." Izel mengangguk. Suasana yang semula bahagia mendadak menjadi canggung. Bermenit-menit hening, keduanya diam membisu, entah apa yang sedang mereka pikirkan.

Tepat saat mata keduanya menatap tumbuhan yang di depan mereka, lantas keduanya mendekat ke arah tumbuhan itu.

"Gimana cara ngambilnya?"

"Gue juga bingung, Zel. Nggak ada alat yang bisa kita gunain."

"Yaudah kita kasih tau mereka aja dulu, terus nanti kita pikirin caranya bareng-bareng," usul Izel dan mendapat anggukan setuju dari Ansel.

"Nggak nyangka disini ada bambu juga," ucap Izel yang masih tak percaya dengan apa yang mereka dapat.

"Sama, Zel. Gue juga nggak nyangka," timpal Ansel.

Tumbuhan yang mereka temui adalah tumbuhan bambu.

"Mending kita pulang aja, Zel." Ansel menarik tangan Izel, kemudian keduanya berjalan menjauh dari sana.

Keduanya berjalan ke arah jalan pulang, tidak sulit sebab mereka telah menandai setiap pohon yang mereka lewati dengan bunga. Keduanya bersyukur bunga mereka masih tertanam bahkan tidak rusak.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba langit yang semula cerah mendadak mendung, disertai angin sepoi-sepoi. Entah mengapa, hal itu membuat keduanya seketika merinding. Tiba-tiba, tidak jauh di hadapan mereka, muncul asap yang entah berasal dari mana. Ansel dan Izel yang melihat itu perlahan mundur, Ansel menautkan jarinya dengan jari-jari Izel.

Debaran jantung mulai berdetak tak karuan, keringat membasahi pelipis keduanya. Asap itu semakin lama semakin sedikit. Izel semakin mempererat gengamannya. Asap yang semakin lama semakin sedikit kini benar-benar menghilang.

Debaran jantung Ansel dan Izel semakin kencang dari sebelumnya saat melihat munculnya sosok nenek-nenek yang sedikit bungkuk, memakai bayu kebaya lengkap dengan kain panjangnya. Rambutnya yang sebagian telah berwarna putih sedang tersenyum lebar ke arah Ansel dan Izel.
Sosok nenek itu berjalan ke arah Ansel dan Izel. Ansel dan Izel bergeming, kakinya terlalu berat rasanya untuk sekedar melarikan diri dari sosok itu. Padahal keduanya sangat ingin melarikan diri, namun entah mengapa sangat sulit.

Izel memejamkan matanya saat sang nenek itu telah berada di hadapannya dan Ansel. Sedangkan Ansel menunduk, tak berani menatap sang nenek itu. Angin berhembus sedikit kencang dari sebelumnya, membuat Ansel dan Izel lebih merinding dan ketakutan.

"Cu, jangan takut sama nenek," ucap sang nenek dengan nada rendah, namun terdengar amat menyeramkan di telinga Ansel dan Izel. Izel semakin memejamkan matanya erat, enggan membukanya.

Sedangkan Ansel langsung memejamkan matanya saat dagunya dipegang dan diangkat oleh sang nenek. Tangan sang nenek tidak besar, juga tidak kecil, dan kulitnya terasa sedikit kasar saat mengangkat dagu Ansel.

Cairan bening langsung menetes begitu saja dari mata Izel yang terpejam erat saat sebuah tangan mengelus rambutnya yang terkepang, tangan sang nenek.

"Jangan nangis, cu," ucap sang nenek sambil mengusap pipi Izel yang basah karena air mata.

"PERGI! PERGI!" teriak Izel terlalu keras karena ketakutan. Ansel tidak dapat berbicara, apapun lidahnya terasa kelu.

"Muka mata kalian, cu. Nenek mau bicara," titah si nenek, yang ajaibnya Ansel dan Izel kompak membuka mata mereka. Dapat mereka tangkap jelas wajah sang nenek yang keriput serta pucat pasih, dengan mulut yang melengkung membentuk senyuman.

"Kalian dapat mengambilnya hanya sekali, dan ingatkan pada temanmu untuk mengingat pesan yang mereka dapat. Jangan sampai melupakannya, atau kalian akan dalam bahaya," peringat sang nenek masih sambil tersenyum.

Ansel dan Izel tidak paham dengan apa yang sosok nenek-nenek itu katakan. Setelah mengatakan itu, asap kembali muncul sampai sosok nenek-nenek itu tak terlihat. Bersamaan dengan hilangnya asap itu, sosok nenek-nenek itu pun turut menghilang.

***


Nenek siapa itu nyasar di pulau? Bawa balik!

Maksud peringatan si nenek apa yah?


Jawabannya ada di chapter berikutnya

Voment dulu yak!

Oke ayok lanjut!

SURVIVAL MISSION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang