A/N :
If you enjoyed this story, dont forget to leave ur comment 💬 and vote ⭐
Thank u
"Apa Jisung buat masalah lagi?."
Tanpa sadar Jaemin menghempas kasar tubuh lelahnya, hingga tulang punggungnya berderit ketika terbentur dengan pinggiran kursi. Pria itu hanya memejamkan mata menahan sakit namun tak mengeluarkan erangan sedikit pun. Ia terdiam sebentar menunggu nyeri di punggungnya mereda, lalu kembali menanggapi obrolan seriusnya dengan seseorang melalui telepon.
"Ya. Selama satu bulan ini ibu sudah menerima tiga surat panggilan dari pihak sekolah, Jaemin-ah. Ibu juga sudah tidak sanggup lagi menghadapi kenakalan putramu itu."
"Baiklah. Kebetulan meeting ku baru saja selesai. Aku bisa langsung ke sana sekarang juga."
"Jaemin... bagaimana kalau ibu menghubungi Minjeong?."
"Minjeong?. Maksud ibu... Kim Minjeong?."
"Ya. Kemarin ibu mendapat kabar kalau Kim Minjeong sudah kembali ke Seoul. Jadi ibu pikir, ada baiknya kalau Minjeong saja yang menghadiri—"
"Tidak! Jangan pernah berpikiran untuk memberitahu Kim Minjeong apapun terkait Jisung. Biar aku saja yang menghadiri undangan itu, aku pastikan akan segera membawa pulang cucu kesayangan ibu secepat yang aku bisa."
"Kalau begitu biarkan ibu ikut denganmu menemui Jie di sekolahnya."
"No. Ibu tidak perlu ikut. Tunggu di rumah saja dan jangan khawatir, okay?. Aku akan berangkat sekarang juga." Jaemin menyela dengan nada yang cukup tegas, kemudian memutus sambungan teleponnya tak mau berdebat lagi.
***
Sebuah Range Rover hitam memasuki wilayah sekolah yang terbilang elite itu, diiringi dengan tatapan terpukau para warga sekolah. Seorang lelaki turun dengan tenang dan berjalan melintasi koridor kelas sambil menyampirkan Jas di lengan kirinya. Sesekali, dia juga tersenyum kecil. Mendengar bisikan para siswi yang secara terang-terangan mengamatinya dengan penuh rasa kagum.
Menghela napas pelan, Jaemin terus berjalan melewati para remaja tanggung itu. Netra cokelatnya tanpa sengaja melirik ke arah seorang wanita dewasa bertubuh mungil—tengah berjalan mengambil arah berlawanan. Wanita tersebut sepertinya belum menyadari keberadaan Jaemin, saking sibuknya mengoceh lewat telepon. Sesekali, mengeluarkan tawa ringan yang begitu khas terdengar cukup familier di telinga Jaemin.
Tunggu
Jaemin hafal alunan tawa lembut itu. Suara yang beberapa tahun lalu sempat mengisi hari-hari Jaemin, ketika ia dan wanita itu masih terikat dalam suatu hubungan—tepatnya dua belas tahun yang lalu.
Laki-laki itu mempercepat langkahnya. Terus berjalan tanpa melepas pandangan ke arah sosok tersebut. Hingga saat wanita itu berniat membelok menuju kantor kepala sekolah, dengan cepat Jaemin mencegatnya, menahan pergelangan tangan wanita itu.
"What a surpirse!. Apa yang kau lakukan di sini Nona-Winter-Kim?."
Merasa terpanggil, wanita pemilik marga Kim tersebut menoleh, dan terkejut melihat sosok pria yang tiba-tiba saja mencegat langkahnya. Sejenak, wanita muda itu bergeming di tempat. Namun netranya terus menatap tajam ke arah Jaemin tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Oh, ternyata kau. Tentu saja aku ke sini untuk menemui anakku." Jawab Winter lugas. Tatapan mata wanita itu beralih memandang lengannya yang masih dicekal erat oleh Jaemin.
Seakan mengerti, Jaemin pun buru-buru melepas jeratannya di lengan Winter, dan membalas tatapan wanita itu dengan sorot sama tajamnya.
"Dari mana kau tahu?. Seingatku, aku tidak pernah menyuruhmu untuk ikut campur lagi di kehidupan kami. Karena saat kau memutuskan untuk pergi, urusan Jisung adalah murni urusan pribadiku. Lagipula bukannya kau sudah tinggal bebas di luar sana?. Lalu apa alasanmu kembali ke sini lagi, hm?."
Winter mengerjapkan kedua mata. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Jaemin akan bersikap se-skeptis itu.
"Maaf, aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan konyolmu itu." ujar Winter mulai menunjukkan ketidaksukaannya. "Perlu kau tahu, saat ini aku sangat kecewa padamu Park Jaemin. Ternyata selama ini kau sama sekali tidak bisa mendidik Jisung dengan baik. Aku bahkan tidak menyangka, ini kali ketiga dia mendapat surat teguran dari pihak sekolah dan kau sama sekali tidak pernah hadir untuk mendampinginya!."
"Sudah ku katakan itu bukan urusanmu lagi."
"Tentu saja itu urusanku!."
"Kau tidak berhak tahu."
"Aku ini ibunya!." balas Winter sengit. "Kalau keadaannya terus seperti ini, kau jangan kaget Jaemin-shi, kalau tiba-tiba hak asuh atas Jisung sepenuhnya jatuh ke tanganku. "
"Cih, apa kau sedang mengancamku?." Jaemin berdecak sinis. "Kau tentu tahu, saat ini kau sedang berhadapan dengan siapa Kim Minjeong!. Kusarankan, sebaiknya jangan buang-buang waktumu hanya untuk mencari masalah denganku lagi. Karena sudah ku pastikan, kau tidak akan pernah bisa menang jika melawanku."
"Alright, let's wait and see what i do to you." Winter menanggapi perkataan Jaemin dengan tenang. "Aku sedang tidak bermain-main, Jaemin-shi. Cepat atau lambat aku akan mengajukan pengalihan hak asuh ke pengadilan dan akan membawa Jisung untuk tinggal bersamaku. Dan kalau itu berhasil, aku pastikan kau tidak akan pernah bisa bertemu dengan anakku lagi."
"Cih, omong kosong. Dia anakku dan hanya aku yang berhak memilikinya!."
"Terserah..."
"Jadi kau ingin bermain licik, huh?."
Senyum samar tercetak di bibir Winter. Ia menatap Jaemin dengan tatapan yang bisa diartikan bahwa hal semacam itu tidak perlu ditanyakan lagi.
"Ahh... Pikirkan saja sendiri. Aku sedang tidak mood untuk berdebat denganmu tuan Jaemin." Sela Winter acuh. Wanita tersebut bahkan dengan cuek memasang kaca mata hitamnya. Menunjukan ketidak-peduliannya pada 'sang mantan kekasih' yang juga merangkap sebagai ayah biologis putra semata wayangnya.
Sementara Jaemin hanya mengumpat kesal karena tak sanggup membalas perlakuan Winter. Sadar kalau Jaemin masih terdiam, Winter pun memutuskan untuk bergegas pergi dan mengambil langkah cepat, sebelum macan dalam diri Jaemin terbangun dan malah mengacaukan segalanya.
Winter sudah bertekad, kali ini dia tidak boleh membiarkan dirinya kalah lagi dari pria itu.
Ya. Tidak akan lagi.
.
.
.
Repost : 27/11/23
