Bab 31

2 0 0
                                    

Perjalanan menuju 'The City of Love', 1918

"Bangunan apa ini?"

"Itu gereja."

"Gereja?" Mary membeokan sembari menengadahkan kepalanya untuk menatap bangunan setinggi tiga puluh kaki yang berdiri di sudut jalan. Arsitekturnya bertema ghotik dimana kaca-kacanya disusun dengan gambar dan pola-pola yang rumit. Struktur bangunannya terbuat dari susunan bata. Gereja itu juga memiliki tiga pintu masuk yang terbuka lebar bagi siapapun yang ingin masuk. Mary melihat beberapa orang baru saja menaiki tangga dan menghilang di balik pintu masuk. Beberapa di antara mereka baru saja keluar dari pintu yang sama.

"Mau melihat ke dalam?"

Mary ragu-ragu, tapi menganggukkan kepalanya.

Di dalam, desain arsitekturnya lebih bagus lagi. Meskipun Mary jarang menginjakkan kakinya di gereja, tapi ia tahu bahwa gereja itu cukup luas jika dibandingkan dengan gereja pada umumnya. Dinding-dindingnya diberi cat berwarna bata. Terdapat pilar-pilar tinggi di setiap sudut dinding. Di kedua sisi pilarnya terdapat sebuah kaca besar yang tadi sempat dilihatnya dari luar bangunan. Kaca-kaca itu didesain seperti lukisan dengan warna-warna yang natural. Mary mengenali kaca dengan desain tiga ekor burung merpati yang merentangkan sayapnya berlatarkan langit biru. Tempat itu juga memajang sebuah patung yang besar. Barisan kursinya disusun dengan rapi. Kursi-kursi itu menghadap ke arah yang sama, yaitu altar dimana ada sebuah mimbar yang dikelilingi oleh cahaya lembut dari lilin-lilin yang dinyalakan. Lonceng berbunyi saat jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Orang-orang yang berdatangan mulai meninggalkan gereja, tapi Mary masih ingin duduk disana, menyaksikan cahaya kecil lilin itu menari-nari di atas altar berlatarkan alunan musik syahdu yang entah dari mana asalnya."

"Dari mana asal musik itu?" tanya Mary saat ia dan John menempati salah satu bangku panjang kosong yang menghadap langsung ke altar.

John kemudian menunjuk ke atas, tepat ke sebuah balkon kecil dimana seseorang sedang duduk memainkan biolanya. Terdapat sebuah alat berupa lingkaran besar yang menangkap suara itu dan mengirimkannya ke sekitar dalam nada yang lebih besar. Dari sanalah sumber suara itu berasal. Dengan terkesima, Mary menatapnya, menyaksikan sang seniman memainkan alat musiknya dengan piawai dan menikmati irama lembutnya dalam keheningan yang menenangkan. John melakukan hal yang sama, kecuali karena sesekali laki-laki itu mengalihkan tatapannya untuk melihat bagaimana Mary bereaksi dan setiap kali ia melihat kilatan muncul di kedua mata Mary, John akan tersenyum lebar.

"Aku dan orangtuaku jarang pergi ke gereja," ucap Mary untuk memecah keheningan. Ketika mengucapkan itu, kedua matanya menatap lurus ke sebuah tanda salib besar yang menggantung di dinding. "Kurasa mereka tidak memercayai Tuhan, itulah sebabnya. Tapi nenekku adalah seorang penganut agama yang taat. Ketika aku masih kecil, dia sering mengajakku ke gereja untuk mendengarkan khutbah dan bernyanyi. Aku ingat hari itu seseorang pernah menarikku ke altar untuk bernyanyi bersama para suster. Tapi itu sudah lama sekali, aku hampir tidak bisa mengingatnya lagi."

John mendengarkan ucapannya tapi tidak mengatakan apa-apa sampai Karen bertanya, "bagaimana denganmu?"

"Aku pernah berharap tidak perlu datang ke gereja.."

Sudut bibir Mary terangkat, wanita itu tersenyum lebar. "Benarkah?"

"Ya."

"Mereka akan memukuliku jika aku tidak datang, itulah sebabnya."

"Itu buruk sekali."

"Suatu hari aku dan kakakku kabur sehingga kami tidak perlu menghadiri kebaktian, kemudian pada saat itu suatu kecelakaan terjadi. Aku bersama kakakku Ryan pergi berlari meninggalkan rumah, kami berdua naik kuda milik ayah kami, pergi menuju bukit, tapi kami baru sampai setengah jalan ketika Ryan tersangkut dahan pohon, kudanya mengamuk, dia jatuh dan lengannya terkilir parah. Pelarian itu berakhir sia-sia saja. Aku tidak bisa membawa Ryan sendirian, jadi aku terpaksa memanggil kedua orangtuaku. Mereka memaki kami setelah itu, tapi bagian paling menariknya adalah ketika orangtua kami mulai marah, Ryan menjadi diam. Kedua matanya menatap ke depan dan dia tidak mengatakan apa-apa. Orangtua kami menjadi panik. Mereka takut sesuatu akan terjadi padanya. Tahu apa yang dikatakan Ryan saat itu? Dia bilang.. ibu, ayah, apa kalian melihat cahaya di depan sana? Orangtuaku menjadi bingung karena tidak ada cahaya apapun. Aku juga mulai bingung – apa lagi yang direncanakannya kali ini. Jadi orangtuaku bertanya padanya: apa yang kau bicarakan? Dan Ryan menatapku, dia bilang.. apa kau tidak melihatnya juga, John. Aku menggeleng, dan dia melanjutkan aksinya. Itu cahaya Tuhan! Kami semua kebingungan, tapi Ryan tidak berhenti, jadi orangtuaku panik dan memintanya untuk berbaring lagi. Baru ketika mereka pergi, aku mengerti kalau Ryan melakukan itu hanya agar kami terhindar dari masalah. Dan dia berhasil. Orangtua kami mungkin akan menghukum kami kalau saja Ryan tidak berpura-pura."

Train to The City of Love (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang