Bab 22

2 0 0
                                    

Perjalanan menuju 'The City of Love', 1918

"Kau mengatakan kalau kau menghabiskan masa kecilmu dengan bekerja di ladang bersama saudara-saudaramu?" tanya Mary.

"Itu benar."

"Apa yang sebenarnya kalian kerjakan disana?"

John dan Mary berjalan menyusuri taman kota sembari mengbrol. Mereka meninggalkan galeri sekitar lima belas menit yang lalu dan memutuskan untuk memanfaatkan waktu yang tersisa dengan berjalan menyaksikan gedung-gedung bertingkat dan keriuhan kota, sampai akhirnya mereka menemukan bangku kosong di dalam taman dan segera memutuskan untuk duduk disana.

John menatap Mary yang begitu penasaran tentang kehidupannya di ladang. Ia punya sejuta cerita untuk dibagi – John sama sekali tidak keberatan untuk membaginya. Sudah menjadi nalurinya untuk berbagi cerita. Saudaranya pernah mengatakan bahwa di antara mereka berempat, John-lah yang paling gemar berbicara. Ia bisa bergaul pada siapapun dengan mudah. Mungkin itu sisi positifnya, tapi dalam perang, kebiasaan itu sangat tidak membantu. Terlepas dari kegemarannya, John lebih penasaran tentang Mary. John ingin tahu lebih jauh tentang wanita itu setelah apa yang Mary katakan di galeri tadi.

"Tidak banyak," sahut John untuk menjawab pertanyaan terakhir Mary. "Kami hanya memotong ilalang dan memastikan gandum yang kami panen tidak rusak. Terkadang pekerjaan itu terasa lebih sulit di musim dingin, jadi sepanjang musim panas kami sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, sehingga pada musim dingin kami masih punya persediaan."

"Akan kau apakan semua gandum itu?"

"Kami menjualnya ke pasar. Kami juga memasoknya untuk pabrik-pabrik roti. Setiap pagi setelah memeriksa ladang, aku dan kakakku akan pergi untuk mengantar semua gandum itu. Kami punya truk pengangkut untuk mengirim semua gandum kemudian sorenya kami akan kembali bekerja di ladang, berpanen lagi sampai malam."

"Orangtuaku akan mengatakan kalau itu pekerjaan yang berat untuk dilakukan remaja, tapi apa kau menyukai semua itu?"

John mengerutkan dahinya kemudian mengangkat kedua bahu dan berkata, "itu bukan tentang apakah aku menyukainya atau tidak, itu adalah apa yang kulakukan setiap hari untuk membantu orangtuaku. Semua sumber penghasilan kami berasal dari ladang, jadi itu sudah menjadi kebiasaan kami untuk mengerjakan semuanya."

"Aku pernah belajar menjahit dan memasak, tapi tidak pernah diajarkan cara untuk bercocok tanam."

"Kau ingin bercocok tanam suatu hari nanti?"

"Ya, aku sangat ingin."

"Aku tahu sebuah tempat yang dimana kau bisa menemukan bibit tanaman hias yang bervariasi. Apa kau tahu kalau di kota cinta ada sebuah kawasan pengunungan yang di sebut sebagai 'Blue Mountain'?"

Mary menyipitkan kedua mata, sejenak berpikir sebelum mengatakan, "ya kurasa aku pernah mendengar seseorang mengatakan tentang 'Blue Mountain'. Sebenarnya ada apa disana?"

"Sejarahnya ada pasangan suami istri yang tinggal di kaki gunung. Mereka sangat gemar bercocok tanam. Mereka punya kebun yang ditumbuhi oleh tanaman hias. Salah satu yang paling banyak adalah lavender. Mereka menyadari kalau kawasan di sekitar pegunungan itu lahannya kosong dan tidak terawat. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyebarkan bibir lavender disana dan merawatnya. Mereka melakukannya selama puluhan tahun. Lama kelamaan lavender menyebar luas di pegunungan, dan setelah pasangan suami istri itu meninggal, orang-orang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan upayanya menyebar lavender ke seluruh kawasan pegunungan. Gunung itu akhirnya disebut sebagai gunung biru karena lavender yang menyebar sejauh berhektar-hektar di sekitarnya memberi warna kebiru-biruan ketika dilihat dari jauh. Terinspirasi oleh kisah suami-istri yang menghabiskan sisa hidupnya untuk menanam lavender, orang-orang disana akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah komunitas bercocok tanam yang terbuka untuk umum."

Train to The City of Love (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang