Perjalanan menuju ‘City of Love’, 1918
Asap mengepul keluar dari lubang udara. Suara alarm yang dibunyikan dengan keras memecah keheningan. Orang-orang sibuk berkeliaran di sekitar stasiun. Derap langkah kaki yang cepat saling bekerjaran menuju pintu keluar. Yang baru saja melewati pintu masuk lebih tergesa-gesa. Suaranya beradu dengan dengungan percakapan yang menggantung dimana-mana. Suara-suara berisik itu seperti tidak ada habisnya.Siang itu panas. Terik mataharinya terasa menyengat. Bau debu dan keringat tercium tajam. Sementara orang-orang yang berdatangan saling berdesakan menyodorkan tiket pada seorang petugas yang berjaga di depan gerbong kereta. Kelihatannya si petugas tampak kewalahan. Meskipun begitu, barisan antrean perlahan mulai surut dan orang-orang yang sebelumnya berdesakan di depan gerbong akhirnya dapat duduk tenang menempati kursi mereka.
Ia melirik arlojinya, hampir pukul sepuluh lewat lima belas menit. Kereta akan berangkat pukul sepuluh tiga puluh, sementara ia masih berdiri di antara barisan antrean orang-orang yang hendak masuk ke gerbong yang sama.
Lima menit sebelum kereta diberangkatkan, ia nekat menerobos barisan antrean di depan. Penjaga yang bertugas di depan pintu sedang sibuk meredakan keributan sehingga ia mengambil kesempatan itu untuk menerobos masuk ke dalam. Tiga orang yang berbaris di belakang mengungkapkan protesnya sembari menggerutu. Dua orang lain mengikuti aksi nekatnya untuk menerobos masuk, sementara orang-orang yang membentuk barisan di depan pintu, keluar dari antrean dan saling berebut masuk untuk mendapatkan tempat di dalam gerbong.
Suhu udara di dalam gerbong terasa lebih panas. Jendelanya dibuka lebar. Belasan orang telah duduk menempati kursi-kursi di dekat jendela. Ia menatap ke sekeliling untuk mengamati wajah mereka satu persatu. Seorang laki-laki dengan kumis hitam dan kaca mata lebar yang merosot di atas hidungnya, duduk menyilangkan kaki sembari membentangkan surat kabar lokal dengan lebar di atas meja. Barang-barangnya diletakkan di atas kursi kosong di seberang meja. Ketika ia mendekat, laki-laki itu mengangkat wajah dan menyipitkan kedua mata ke arahnya.Ia langsung bergerak cepat melewati kursi itu dan masuk ke gerbong lain. Tepat di gerbong nomor tiga, dimana penghuninya terlihat lebih sedikit dibandingkan dua gerbong lain yang baru saja dilewatinya. Meja dan kursinya di tata dengan rapih dimana meja-meja itu dibungkus oleh kain putih polos yang masih bersih. Orang-orang saling duduk berhadapan sembari memulai percakapan ringan. Di tengah suara keributan yang samar-samar dari luar jendela, ia masih bisa mendengar suara bisik-bisik percakapan mereka: dua orang wanita tua sibuk memperdebatkan jenis pakaian yang akan mereka gunakan nanti. Tiga laki-laki dewasa yang menempati barisan kedua terdepan sedang mengocok kartu mereka dan menyebarkannya di atas meja sembari mengabaikan larangan keras ‘permianan kartu’ yang dipasang tinggi-tinggi di atas pintu. Di sisi lain, seorang pelayan terlihat sedang berdiri untuk mencatat pesanan pasangan lanjut usia yang masih sibuk membolak-balik halaman buku menu sembari mengerutkan dahinya. Seorang anak berlari-larian di sekitar gerbong sampai orangtuanya menyerukan perintah dengan tegas untuk duduk tenang.
Ia kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari tempat kosong. Beberapa kursi terdepan sudah diisi oleh sepasang suami istri. Di kursi lain seorang pria tua duduk bersebrangan dengan remaja belasan tahun. Si pria sibuk membolak balik halaman surat kabar, sesekali dahinya mengerut dan kedua matanya menyipit. Sementara remaja itu menyilangkan kedua tangannya di atas meja, tatapannya terarah ke luar jendela, tepat dimana belasan orang terlihat sedang berlalu lalang. Di ujung gerbong, seorang wanita berambut pirang yang menggenggam sebuah buku bersampul coklat sedang duduk menyandarkan punggungnya di birai jendela. Kedua tangannya mengangkat buku tinggi-tinggi hingga menutupi wajah. Tidak hanya sekali ia mendapati wanita itu mencuri pandang dari tepi bukunya untuk melihat ke seberang jendela. Ia duduk dengan gelisah. Kelihatannya ada sesuatu yang menganggu. Duduk berseberangan dengan wanita itu mungkin akan menjadi pilihan terakhirnya, namun hanya ada sebuah kursi kosong yang tersisa di dalam gerbong, dan kursi itu berada tepat bersebrangan dengan wanita berambut pirang dengan ekspresi masam yang mencurigakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Train to The City of Love (COMPLETE)
RomanceTiga pasangan kekasih menaiki kereta yang bergerak menuju kota cinta dalam tiga waktu yang berbeda, menemukan kisah mereka bermula dan berakhir dalam perjalanan yang sama. _ Mary dan John, dua pemuda asing yang dipertemukan secara tidak sengaja, me...