Bab 8

8 0 0
                                    

Perjalanan menuju 'The City of Love', 1958

Norma merasakan sebuah emosi yang menggelitik perutnya ketika mendengar Richard mengucapkan nama gadis dari masa lalunya itu. Norma sudah tahu sejak lama, tapi ia tidak pernah mendengarnya langsung dari Richard. Meskipun begitu, Richard masih menyimpan semua barang-barang milik gadis itu di dalam peti yang tertutup rapat-rapat di dalam lemari. Norma hanya pernah melihatnya sekali secara diam-diam. Kalaupun Richard mencurigainya selama ini, laki-laki itu tidak pernah mengatakan apa-apa. Tapi Norma juga tidak pandai berpura-pura. Itu bukan kali pertama ia mendengar nama Alda, meskipun begitu puluhan tahun rasanya sudah meredam keinginannya untuk memprotes dan hanya menyisakan sedikit ruang di dalam benaknya untuk benar-benar mendengarkan Richard.

"Saat itu usiaku sekitar dua puluh lima tahun ketika aku berlayar menuju pelabuhan untuk mengantar belasan ton batu bara. Kami menjualnya pada seorang pemilik pabrik kaya raya yang sudah menjalani bisnisnya selama dua belas tahun. Atasanku mempercayakanku untuk memimpin ekspedisi, jadi hari itu aku mengepalai lima orang awak kapal, berlayar menyebrangi pulau untuk sampai di pelabuhan dimana kami bisa menurunkan batu bara itu disana dan kembali pada hari berikutnya. Aku cukup sering berlayar jadi aku tahu itu akan mengambil waktu sekitar dua hari untuk sampai di pelabuhan. Aku mengambil jalan pintas untuk sampai lebih cepat, tapi sayangnya cuacanya tidak mendukung. Kupikir hari cukup cerah sampai badai datang dan mengacaukan perjalanan kami. Sisi pinggir kapal mengalami kebocoran sehingga dua sampai tiga ton batu bara terendam air. Salah satu awak kapalku mengatakan kalau mesin kapal akan segera mati dan aku harus memutuskan dengan cepat sebelum kami benar-benar tenggelam. Akhirnya kuputuskan untuk singgah di pelabuhan terdekat dan mencari bantuan. Kami mempertaruhkan segalanya dalam perjalanan itu, maksudku.. jika batu bara tidak datang tepat waktu, maka pabrik tidak akan mau membayar biayanya sepeserpun. Aku tahu masalah itu akan kuhadapi cepat atau lambat, jadi lebih baik memikirkan keselamatanku dan lima awak kapal yang pergi bersamaku lebih dulu. Setelah berdiskusi, kami akhirnya sepakat untuk mencari pelabuhan terdekat dan menetap disana. Percayalah, tu bukan tempat yang cukup terawat, ada banyak kapal yang terdampar dan rusak disana. Hanya sebagain yang berfungsi, sisanya dibiarkan begitu saja. Para nelayannya menggunakan kapal-kapal itu untuk mengantar pasokan garam dan ikan ke pelabuhan terdekat, tapi setidaknya disana ada makanan dan tempat penginapan yang cukup murah untuk ditempati selama beberapa hari.."

Pelabuhan, 1914

Mesin kendaraan berdesing di tengah suara ribut dan dengungan percakapan di tengah kerumunan orang yang berkeliaran di sekitar pasar. Asap mengepul keluar dari kendaraan-kendaraan itu. Orang-orang berjalan tergesa-gesa untuk sampai di tempat tujuan mereka lebih cepat. Bangunan bertingkat yang berjejer rapi di pinggir jalan. Sejumlah kios pedagang yang berjualan di pinggir jalanan telah dipenuhi oleh belasan pembeli. Aroma wangi kue apel menguar dari salah satu ruko dengan cat dinding hijau yang berdiri di salah satu sudut jalanan. Richard memandanginya dengan perut keroncongan yang terus menyampaikan protesnya sejak ia singgah di pelabuhan, tapi ia tidak menghentikan langkahnya dan terus bergerak menyusuri pinggiran kota untuk mencari tempat penginapan.

Kota itu tidak hanya kecil tapi juga padat. Puluhan kendaraan yang berlalu lalang membaur di tengah jalan seperti ngengat yang saling berkejaran. Bau bahan bakar kendaraannya tercium dimana-mana. Orang-orang yang berada disana tidak begitu terganggu dengan kepadatan kota itu. Mereka terbiasa dengan rutinitas pagi yang cukup sibuk.

Di salah satu sudut jalan, sebuah gedung bertingkat dengan cat dinding coklat berdiri megah. Di depannya dipasang sebuah plang dengan tulisan besar berupa pengingat untuk menghadiri pertunjukan opera besok malam. Richard melihat puluhan orang sedang mengantre di depan loket untuk membeli tiket masuk. Wajah yang dipajang di permukaan itu adalah sebuah potret wanita berambut merah yang tersenyum lebar dengan menampilkan sederet gigi putihnya yang rata. Satu tangannya menyilang di antara tulang pinggulnya yang ramping dan ia mengenakan dress hijau yang sangat cocok dengan warna matanya. Tidak heran semua orang rela mengantre panjang untuk membeli satu tiket pertunjukkan itu. Kalau cukup beruntung, Richard akan menjadi salah satu orang yang berdiri depan panggung untuk menyaksikan opera itu.

Train to The City of Love (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang