Bab 27

2 0 0
                                    

Perjalanan menuju 'The City of Love', 1998

Karen memandangi kursi Jesse yang kosong dan gelasnya yang masih terisi penuh oleh kopi. Laki-laki itu bahkan belum menyentuh minumannya sedikitpun. Ketika Jesse meninggalkannya ke toilet, Karen memandangi kepergian laki-laki itu sampai Jesse menghilang di balik pintu. Kini ia sendirian. Perdebatan yang sebelumnya mengalihkan seluruh perhatian Karen dari apa yang terjadi di dalam gerbng kini sirna begitu saja dan menyisakan keheningan yang terasa ganjil untuknya. Meskipun suara gemuruh mesin kereta berdengung keras dan orang-orang di sekelilingnya terus berbicara, fokus Karen sepenuhnya buyar. Kesedihan dan rasa bersalah menyelimutinya. Tiba-tiba ia merasa seakan ada awan hitam tebal di atas kepalanya. Awan tebal itu memberondongnya dengan perasaan gelisah setidaknya sampai pintu toilet dibuka beberapa menit kemudian, dan wajah Jesse muncul dari sana.

Tidak seperti sebelumnya, Jesse tampak lebih baik. Apapun yang dipikirkan atau dirasakannya kala itu, berhasil ia sembunyikan dengan baik. Namun ketika Karen menatap lurus ke dalam mata gelapnya yang sendu, ia akan melihat kesedihan dan kekecewaan yang jelas dari sana. Jesse tidak berbicara ketika menempati kursinya. Kopi yang sedaritadi belum disentuhnya kini diteguk dengan cepat. Merasa enggan menatap Karen, Jesse mengalihkan pandangannya ke luar jendela, meskipun kelihatannya pikirannya berada di tempat lain.

Karen merasakan dorongan kuat untuk menjulurkan tangannya dan meraih tangan Jesse. Alih-alih melakukannya, ia hanya duduk membeku di atas kursinya, sesekali bertopang dagu sembari memusatkan perhatiannya pada laki-laki itu. Kemudian di seberang meja, Jesse menundukkan kepalanya, kedua matanya yang sayup akhirnya terangkat untuk menatap Karen dan kalimat yang pertama kali keluar dari mulutnya adalah sebuah pertanyaan, "bagaimana kejadiannya?"

"Apa?"

"Ceritakan padaku semuanya!"

Karen menggeleng. "Tidak, aku tidak mau.."

"Aku ingin tahu."

"Kau benar-benar ingin tahu?"

"Ya," Jesse bersungguh-sungguh dan Karen langsung menarik nafas panjang.

"Malam itu aku baru saja menjemput Myra dari rumah neneknya. Kami tidak langsung pulang karena Myra kelaparan dan aku tidak punya sesuatu untuk dimakan di rumah, jadi kami memutuskan untuk berhenti di sebuah restoran. Secara tidak disengaja aku bertemu Ian disana. Kami mengbrol. Dia bertanya tentangmu dan aku bilang kau sedang sibuk dengan tur bukumu jadi dia memutuskan untuk mengantarku dan Myra. Mobilku sedang di bengkel saat itu, jadi kami naik kendaraan umum, tapi karena ada Ian, kami bisa menumpang. Kami juga tidak segera berkendara pulang – Ian mengajakku dan Myra ke sebuah pasar malam. Myra sangat senang malam itu. Aku sampai lupa kapan terakhir kali aku mengajaknya jalan-jalan. Kita selalu sibuk – kau sibuk, aku sibuk, sampai-sampai kita jarang mengajak Myra berpergian. Jadi, itu hanya jalan-jalan, setelah itu kami berkendara pulang dan Ian berpamitan. Keesokan harinya, aku bertemu lagi dengannya di jalan. Kali ini kami bertemu setelah aku pulang dari galeri dan karena mobilku masih diperbaiki, Ian mengantarku lagi. Kami jadi lebih sering mengbrol. Dia menceritakanku tentang mantan istrinya, dan aku juga berbagi cerita padanya tentangmu.."

"Tentang aku?" Jesse membeokan.

"Ya.."

Karen berpikir kalau Jesse akan memprotesnya, tapi ketika laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, ia melanjutkan.

"Hari-hari berikutnya, aku jadi mulai terbiasa bertemu dengan Ian dan mengbrol panjang dengannya. Terkadang itu hanya obrolan ringan seperti pekerjaan, rencana akhir pekan, dan terkadang masalah rumah tangga. Tapi aku mulai merasa terbuka padanya. Dia baik, dia sopan, dia selalu berusaha menjaga percakapan kami tetap pada batasan tertentu, dan aku tidak mau berbohong padamu kalau untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.. aku merasa didengar. Aku merasa bahwa ada seseorang yang bersedia meluangkan waktunya untuk duduk dan mendengarkanku. Aku tidak peduli seberapa sepelenya hal itu, tapi dia disana ketika kau tidak ada. Dan jujur saja itu menghancurkan perasaanku. Aku harap orang itu kau, tapi aku juga tidak mau bersikap naif. Aku mengenal Ian cukup lama, aku tahu dia seseorang yang bisa aku percaya dan itu memang benar." Karen menarik nafasnya, Jesse masih tidak berbicara meskipun ada sejumlah protes yang tidak tersampaikan dalam raut wajahnya.

Train to The City of Love (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang