Warning: Major Character Death, Suicide, Suicidal Thoughts, References to Depression, Loneliness
Zombie Apocalypse AU
———
Tahun keempat, semua sama saja. Langit masih ditutup asap hitam, kadang-kadang merah membara, belum pernah biru seperti lalu-lalu. Kadang, kalau beruntung, muncul hujan. Lumayan, kebun mati di atap apartemen bisa dapat air gratis. Masa sekarang semua serba susah, bahan pangan harus dihemat mati-matian, tangisan awan saja sebisa mungkin ditampung—untuk diminum keesokan hari.
Beberapa minimarket masih berisi hal-hal buat keberlangsungan hidup—tapi yang dekat sudah habis-habisan. Toko ujung jalan sudah kosong melompong, yang jaraknya tiga blok juga sama. Semua dalam radius satu kilometer sudah tidak ada isinya, kemudian dua kilo, tiga kilo. Saat ini, kalau mau mengambil makanan atau apa, harus mengemudi sampai enam kilometer jauhnya.
"Ah, sial!" umpat Aira siang itu. Walaupun gerutuannya terhitung rendah, mirip bisikan, tetapi masih dapat menggema saking sepinya jalan tol. Beberapa kali Aira memukul badan kendaraan, melampiaskan kekesalan, berharap sedikit saja datang kebaikan dari Dewa yang sudah lama menutup mata. Ck. Tentu saja tidak ada. Aira merasa sedikit bodoh. Sudah tahu hasilnya apa masih saja memohon.
Sembari menggerutu jengkel, Aira turun dari motor, kantong belanjaan ia letakkan di jok, diikat seutas tali biar tak jatuh. Setelah memastikan pistolnya terisi penuh (beruntung ada toko senjata tadi) dan kedua pisau mudah ditarik, Aira mulai menuntun.
Matahari tidak tampak. Tidak pernah tampak, sebenarnya. Sejak empat tahun lalu langit ditutup awan penuh abu. Mencipta suasana malam tanpa akhir (dengan siang lebih mirip fajar). Sayang, meskipun tak kelihatan, panasnya masih menerobos, menjadikan siang hari luar biasa terik.
Lihat, baru menuntun sejauh lima ratus meter, napas Aira sudah tersengal-sengal. Keringat bercucuran sampai rambut-rambut menempeli leher dan wajahnya merah terang. Sungguh menyebalkan.
Kalau masih di minimarket, Aira bisa singgah di sana dulu sambil cari-cari bensin; atau kalau belum berangkat, Aira bisa bawa sepeda dan gerobak, serta senjata lebih dari ini. Masalahnya, ia berada di titik tengah. Benar-benar di tengah. Tiga kilometer ke apartemen; tiga kilometer ke minimaket. Rasanya Aira mau gila.
Ah, tunggu, Aira memang sudah gila.
Karena sejatinya, tidak ada orang waras yang bisa bertahan di dunia mati ini selama empat tahun.
Sendirian.
Ah. Bukan.
Aira benar-benar sendirian baru dua tahun terakhir ini. Dua tahun pertama, Aira punya kawan.
Yah, mantan kawan. Dia sudah mati. Aira sendiri yang menguburkan.
Aira tiba-tiba penasaran, jika Dia masih hidup, apakah menarik napas tidak lagi terasa menyesakkan? Apakah Aira bisa terbangum dari tidur tanpa memiliki keinginan untuk menangis? Apakah kekosongan dalam diri Aira dapat terisi? Apakah Aira mampu temukan makna dari hidupnya saat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Miscellany [Ensemble Stars]
FanfictionKumpulan cerita pendek. --- Mengandung bxb, boy x boy, bl, homo. Mungkin akan ada bxg atau bahkan gxg, tergantung seperti apa ide yang datang. Yang jelas, saya hanya menulis chara x chara, tidak ada reader atau OC. Ensemble Stars © Happy Elements Fa...