Dua Belas - Rei x Kaoru

230 11 10
                                    

Warning: Loss of limbs, War!AU, Out Of Characters maybe?

———


Dengung pesawat tempur melintasi langit seakan membaret suara, Rei dan Kaoru sontak menengadah.



Rei melihat langit jingga kemerah-merahan ditelan kegelapan. Di barat matahari mulai jatuh; di timur bulan mulai lahir. Asap samar berbau tengik mengudara selama beberapa menit membentuk garis panjang, lamat-lamat Rei bisa menangkap bayang badan abu pudar yang makin jauh jadi sebuah titik. Tidak butuh waktu lama sampai pesawat itu hilang ditelan malam berbintang. Jauh, jauh, jauh ke arah timur.



"Pesawat mana?"



Pertanyaan itu membuat Rei berpaling ke bawah. Kekasihnya berdiri, mata tertutup perban putih dengan sedikit bercak darah merembes keluar. Kepalanya masih mendongak, seolah melihat langit senja meski dunianya dikukung kabut hitam tanpa secercahpun cahaya. Dalam diam Rei berduka, mengutuk, memeri. Mengeratkan pegangan pada telapak tangan tanpa disengaja.



"Tidak tahu, tidak sempat lihat," jawab Rei pelan, "sudah waktunya kita pulang."



"Hmm."



Kaoru mengangguk samar, menyetujui. Mulutnya tersegel diam ketika cintanya mulai hati-hati menuntunnya melewati jalan setapak berbatu. Jalan yang amat familier, jalan yang konstan menemani masa kecil mereka, ketika dunia masih berwarna merah jambu oleh kepolosan muda.



———



"Sakuma! Sakuma! Lihat, aku menemukan semanggi berdaun empat!" jerit Kaoru kecil kegirangan. Kaki-kaki kecil berjingkrak senang menghampiri kawannya di bawah pohon. Terpasang senyum anak polos, antusias akan segala hal. Membaur bersama matahari musim panas serta seruan bocah-bocah mengisi gendang telinga.



Semilir angin menepuk kepala. Hati-hati membelai dengan cintanya yang tak kasat mata. Kepingan dandelion beterbangan, menari mengendarai pawana, mengajak serta daun-daun ringkih dari tangkainya. Keindahan kecil. Keindahan sederhana. Sesuatu yang harus Rei abaikan demi mendengarkan penuh apa saja perkataan juga tindakan Kaoru.



Kaoru berjongkok tidak lebih dari setengah meter, hati-hati membuka kedua telapak yang sedari tadi menangkup. Sepuluh jari lepas dari tautan, meniru bunga sedang mekar. Malu-malu menunjukkan harta paling berharga. Di tengah keindahan itu, sebuah daun kecil terbaring. Rapuh dan rangup, tapi mempunyai sejuta makna bisu.



"Ibuku bilang, semanggi berdaun empat sangat langka!" seru Kaoru, di bibirnya terpatri sunggingan lugu, "mereka adalah tanda keberuntungan! Jadi aku mau berikan padamu!"



Matahari waktu itu terang sekali sinarnya. Sangat terang sampai kegelapan tidak mampu bertandang di luar lindungan atap. Sehingga merah pada wajah Rei terpampang jelas. Menjalar bagai ular; telinga, leher, pundak.



"Ah—terima kasih...," kalimat terhenti sejenak demi mengapresiasi kebaikan, "tapi Kaoru yang menemukannya. Kenapa tidak kau saja yang simpan...?"



Mata Kaoru benar-benar seperti langit senja, pikir Rei. Oranye cerah bersama bibit-bibit kecil mentari. Membutakan. Horizon tanpa akhir. Menyeret siapapun untuk terjebak dalam pesonanya. Menyeret Rei.



"Kupikir kau lebih butuh," kekeh Kaoru santai, "akhir-akhir ini kau kelihatan murung."



Usia Rei dua belas tahun. Terlalu muda untuk mengetahui soal segala kebusukan dunia; terlalu tua untuk disebut bayi bodoh. Tumbuh dewasa dikelilingi kisah-kisah romansa dari para tetangga, Rei selalu ingin tahu apa itu rasanya mencintai dan dicintai.



Miscellany [Ensemble Stars]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang