Unplanned - Rei x fem!Kaoru

95 5 0
                                    

Warning: genderbend female Hakaze Kaoru (seperti judul), unplanned pregnancy, discussion of abortion, janganlah kamu wleowleo sebelum waktunya

———

Kaoru bukan perempuan yang rapi, itu juga Rei tahu. Apartemen kecil yang ia sewa tidak pernah absen dari potong baju tersebar sembarangan di lantai, empat kaleng kopi kosong di kaki meja, dan sepatu yang berserakan di pintu depan. Dapurnya selalu berisi piring kotor; malas mencuci, katanya, jadi lebih sering pesan antar biar tidak usah tambah kerjaan. Sekali-dua kali Kaoru bersih-bersih mungkin waktu sudah bau dan pengap, atau ketika kakaknya berkunjung. Ayah Kaoru tidak pernah datang.

"Buat apa? Selama aku masih hidup, belum mati terus mayatku dibuang ke selokan, Ayah gak akan peduli," jawab Kaoru sekenanya saat Rei tanya tahun lalu, pertama kali ia menginap. Sudah tiga bulan mereka pacaran, Kaoru mengaku ingin habiskan waktu berdua, di tempat sepi. Gadis nakal, Rei pernah iseng memanggil; pipi Kaoru langsung bersemu merah.

Rei pikir, Ayah macam apa tak acuh pada keadaan putri bungsunya? Padahal tinggal sendiri, masih SMA pula. Kaoru cerita itu salahnya karena pilih sekolah yang jauh dari rumah, Ayah tidak setuju tapi  Kaoru sama keras kepalanya. Kata Kaoru ini pembalasan dendam kekanak-kanakan. Kaoru juga sama—balas dendam—tidak menelpon kecuali minta uang bulanan. Terserah, komentar Kaoru, yang penting aku masih bisa makan.

Dulu, Rei ingin sekali berdebat. Agak munafik, mengingat keluarga Rei juga sama renggangnya.

Sekarang, Rei sungguh bersyukur atas kerenggangan itu.

Mereka baru pulang, sama-sama sepakat untuk ke apartemen Kaoru saja, soalnya Ritsu ada di rumah. Kaoru masuk duluan, melepas sepatu kets tidak sabaran, melempar tas entah ke mana, kemudian merebahkan diri di sofa sambil mengerang. Begitu Rei menghampiri, tangan membawa tas plastik berisi obat-obatan serta resep dokter, ekspresi Kaoru berubah tidak enak. Dia tampak benci. Tak suka.

"Taruh di dapur. Atau belakang punggungmu. Aku nggak mau lihat."

Rei menurut. Ia letakkan semua di rak paling atas, demi kenyamanan Kaoru, dan juga dirinya. Barulah ia menyusul, duduk di lantai, memegang tangan Kaoru hati-hati. "Masih sakit?"

Sebuah gelengan, jeda, kemudian anggukan. Badanku tidak sakit; hatiku sakit. Perasaanku sakit.

Ah. Diusapnya jari-jari Kaoru lembut, perempuan itu cuma meringis. "Kamu mau apa sekarang? Mau bagaimana?"

Kaoru menutup mata; memalingkan muka. "Nggak tahu."

"Nggak apa-apa, aku paham," balas Rei pelan, sembari melirik tas Kaoru. Tas yang, akibat diperlakukan kasar, memuntahkan segala isinya. Ada dua foto, meluncur bebas hampir satu meter jauhnya dari bukaan tas. "Apapun yang kamu pilih, aku dukung."

Terdengar helaan napas panjang. "Rei, aku nggak siap."

"Aku tahu."

"Aku nggak mau."

"Aku tahu, Sayang."

Kaoru menegakkan tubuh, pundaknya gemetar, beberapa tetes air mata mulai turun. "Aku nggak bisa jadi seorang ibu, Rei. Aku bahkan nggak punya ibu—"

"Jangan bilang gitu," potong Rei cepat-cepat. Jangan bilang kamu nggak punya ibu. Jangan abaikan memori ibu yang sangat kamu sayangi. Ingin Rei lanjutkan, tetapi dia tahu sekarang bukan waktu yang tepat. Tidak akan pernah tepat. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau. Nggak apa-apa kalau kamu nggak siap. Besok kita ke klinik lagi, ya?"

Kaoru mengangguk kecil. "Aku takut, Rei."

"Nggak apa-apa, Sayang," jawab Rei seraya bangkit, menarik Kaoru ke dalam pelukan, "aku juga."

Miscellany [Ensemble Stars]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang